Siapa Cepat, Dia Dapat
Oleh: Fauzi Azis
SECARA gampang dapat diberikan sebuah pemahaman bahwa supaya sektor produktif maju dan berkembang perlu dukungan lembaga intermediasi. Kalau sektor produktif tadi hendak melakukan investasi, pasti memerlukan dukungan lembaga pembiayaan dan manakala hasil produksinya akan dipasarkan, diperlukan juga lembaga pemasaran.
Lembaga pembiayaan dan lembaga pemasaran yang memberikan layanan intermediasi seharusnya tidak berorientasi pada usaha yang berbasis profit center, tapi lebih tepat berbasis pada fee based center. Konsep fee based ini dalam prakteknya dimaksudkan agar si peminjam dana tidak dibebani cost of fund yang terlalu tinggi. Di lain pihak si lembaga intermediasi juga tidak beroperasi merugi. Demikian pula berlaku bagi lembaga pemasaran, tapi bagi lembaga pemasaran, praktek penyelenggaraan berdasarkan konsep fee based rasa-rasanya sudah berjalan.
Indonesia yang oleh berbagai kalangan internasional dan juga di dalam negeri sendiri diproyeksikan akan menjadi salah satu negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi, belum memiliki lembaga intermediasi pembiayaan alternatif, kecuali hanya mengandalkan sistem konvensional, yaitu melalui perbankan, pasar modal dan pasar uang (pasar uang lebih banyak berfungsi sebagai pusat perdagangan uang yang sangat spekulatif dan tidak produktif).
Lembaga keuangan bank yang beroperasi dewasa ini di negara kita, adalah bank yang berfungsi komersial dan sebagai retail banking yang hidupnya bergantung pada profit dan kapitalisasi aset sehingga pada akhirnya, lembaga keuangan bank menjadi salah satu aktor di pasar uang. Peran dan fungsinya tidak optimal sebagai lembaga intermediasi. Operasinya lebih memanjakan konsumen, utamanya para deposan dan penabung (sampai over promoting dengan memberikan berbagai hadiah yang wah).
Memanjakan konsumen tidak ketat (prosedurnya mudah), tapi pada saat sama manakala dia mengintermediasi kepada para produsen dan calon produsen kurang berhati lembut, sangat proseduril ketat dengan berbagai alasan, misal prudent banking, sunset, tidak feasible, tidak bankabel, tidak memiliki jaminan yang cukup dan (dalam 10 tahun terakir) sektor produktif di Indonesia (pertanian, industri pengolahan dan pertambangan) hanya tumbuh rata-rata 3%, sementara itu, sektor jasa-jasa tumbuh rata-rata 7% lebih.
Para kreator muda dan inovator muda yang bergerak di sektor ekonomi kreatif kurang terfasilitasi kebutuhan pendanaannya dan berakibat mereka lari mencari pendanaan di negara lain, seperti ke Singapura dan Malaysia.
Kecenderungan ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Ekonomi finansial kita tidak bisa dibiarkan bekerja berdasarkan mekanisme pasar, di saat kita sedang melakukan progam pembangunan ekonomi produktif untuk mengatasi sebagian hidupnya menjadi rentan karena bergantung pada semangat berhutang dan berhutang, bukan semangat menabung dan menabung.
Situasi yang demikian tentu tidak memberikan edukasi yang baik bagi masyarakat dan generasi muda untuk menjadikan masyarakat produktif. Akibat selanjutnya, selama tahun 2001-2010 mungkin masih banyak lagi persyaratan yang harus dipenuhi. Tapi manakala bank menyalurkan kredit yang bersifat konsumtif (seperti kredit property, kendaraan bermotor dan kebutuhan konsumsi lainnya), cukup dengan KTP, Kartu Keluarga dan daftar gaji nasabahnya sudah dapat menikmati apa yang mereka inginkan.
Ini realitas dan dampaknya mungkin kita tidak pernah merisaukannya. Yang pasti, berdasarkan catatan statistik, pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 6,1%, hampir 60% disumbang oleh belanja konsumsi rumah tangga dari nilai PDB nominal yang mencapai Rp 6000 triliun lebih. Pada kondisi berikutnya, level masyarakat menengah ke bawah untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan masalah-masalah sosial lainnya. Ilustrasi berbagai catatan tadi memberikan suatu sinyal kepada kita bahwa negeri yang sedang giat membangun ekonominya itu pasti membutuhkan dana yang tidak kecil untuk membiayai investasinya.
Kalau prioritasnya adalah kebangkitan sektor riil dan sektor produktif, maka kita harus berani membangun lembaga intermediasi bukan bank yang benar-benar berfungsi sebagai intermediatory non komersial tidak berorientasi profit. Pilihan ini mustahil untuk tidak dapat dikerjakan.
Alasan tidak ada dana juga tidak bisa dipertanggungjawabkan karena faktanya cukup tersedia dana tapi belum efisien dan efektif dimobilisasi dan dipergunakan. Kita telah berhasil memliki Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kita telah membuat PT Pusat Investasi Pemerintah (semacam Temasex di Singapura dan Hasanah di Malaysia).
Di Kementerian KUKM telah ada Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) yang non profit, meskipun operasinya masih sangat terbatas. Jadi, semua bisa kita lakukan, kebutuhannya ada dan mendesak. Membentuk BUMN baru tidak dilarang/tidak diharamkan yang dapat menjadi Lembaga INTERMEDIASI non profit (fee based) untuk memberikan dukungan pembiayaan sektor produktif.
Hal yang sama juga bisa membentuk BUMN baru sebagai Lembaga Pembiayaan Wirausaha Baru di Indonesia yang sekarang mulai tumbuh. Semuanya itu adalah masa depan Indonesia. Kita harus berani mengelola ekonomi Indonesia ala Indonesia, tidak usah takut keluar dari pakem (pakem-pakem di IMF, World Bank) kita bisa anggap konvensional dan celakanya begitu terjadi krisis keuangan global, ujungnya hampir tidak ada resepnya yang manjur, bahkan adakalanya malah “membangkrutkan” (ibaratnya orang sakit panas diberi obat disuruh mandi air dingin. Ya matilah dia atau kalau tidak sakitnya tambah parah).
Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang akan diimplementasikan oleh pemerintah, dana obligasi negara dan juga dana-dana APBN yang teralokasi di berbagai Kementerian/Lembaga yang peruntukkannya dipakai membiayai restrukturisasi usaha dan stimulasi usaha termasuk UMKM, dapat dimobilisasi sebagai sumber pendanaanya untuk dikelola oleh lembaga-lembaga intermediasi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Kita seringkali berbicara tentang pentingnya breakthrough, kita sering menganjurkan agar berfikir out of the box. Nah, berarti tiba saatnya kita mewujudkan mimpi-mimpi kita tadi dengan bertindak melakukan terobosan tanpa harus melanggar hukum dan perundangan yang berlaku. Tapi demi masa depan Indonesia yang lebih gemilang, tidak salah kalau kita bisa membuat aturan baru, memperbaiki/menyempurnakan aturan yang sudah ada. Ini yang harus segera dilakukan. Siapa cepat dia dapat dan siapa lambat … lebay. ***