Setelah Mudik, Warga Kembali Bergelut

Loading

Oleh: Anthon P. Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

SETELAH pulang mudik menghabiskan sisa penghasilan setahun di masa Idul Fitri di kampung halaman, kini warga kota-kota besar seputar Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) kembali bergelut dengan kehidupan nyata yang penuh tantangan.

Selain untuk anggaran belanja di kampung, tidak kurang dari Rp 7 triliun uang nominal kecil, telah dibagi-bagikan ke sanak keluarga. Jumlah ini sesuai data dari penukaran uang mobil keliling Bank Indonesia di berbagai tempat di Jakarta, beberapa hari menjelang Idul Fitri.

Ada pula yang memperkirakan bahwa para pemudik telah menghabiskan Rp 16 triliun untuk belanja di desa. Jumlah ini diasumsikan dari delapan juta orang pemudik membelanjakan THR-nya sebulan gaji yang dipukul rata Rp 2 juta per orang. Berarti, sebanyak Rp 16 triliun belanja pemudik, ditambah Rp 7 triliun “uang lebaran” yang dibagi-bagikan, cukup lumayan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di pedesaan.

Namun, sepulang dari arus balik, warga kota kembali bergelut untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga, ditambah lagi dengan pertambahan penduduk yang mengikut dari desa-desa.

Biasanya, penduduk desa tergiur untuk ikut ke kota-kota, karena melihat para pemudik yang menjadi sinterklas di desa-desa. Jarang perantau berbicara jujur tentang kesulitan yang dialami untuk mempertahankan hidupnya, sehingga enggan untuk menolak apabila ada keluarga yang mau ikut ke kota untuk mengubah nasib.

Akibatnya, penyakit-penyakit lama di kota-kota besar akan kambuh lagi. Dengan pertambahan penduduk, membuat kapasitas transportasi publik semakin berdesak-desakan, jumlah pedagang kaki lima, pengganggur dan anak jalanan akan semakin bertambah. Yang jelas, pertambahan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial, tidak akan terhindarkan.

Hal inilah yang dikhawatirkan pemimpin kota, seperti diserukan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo sewaktu mengantar para pemudik, agar jangan membawa keluarga tambahan ke Jakarta. Belum diketahui berapa jumlah pendatang baru saat ini ke Jakarta.

Untuk itulah, Pemprov DKI Jakarta mulai 21 hari setelah Idul Fitri akan melakukan operasi yustisi kependudukan untuk merazia penduduk baru yang ilegal.

Mereka yang tidak memenuhi syarat, akan dipulangkan ke daerah asal. Masalah yang sama juga dialami kota-kota Bogor, Depok dan Tangerang. Pemkot Bekasi mulai pekan lalu sudah langsung beraksi melakukan operasi yustisi kependudukan. Plt Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi memperkirakan pertambahan penduduk baru di kotanya antara 160.000 sampai 230.000 jiwa. Padahal penduduk Kota Bekasi saat ini sudah mencapai 2,336 juta jiwa.

Masalah Kota

Dari angka kelahiran saja, penduduk kota cenderung terus bertambah. Sebenarnya, masalah yang perlu ditanggulangi pemerintah kota, adalah penyediaan lapangan kerja dan fasilitas yang menunjang kegiatan penduduk kota. Di kota-kota besar amat membutuhkan penyediaan bangunan pasar, atau tempat perdagangan dan niaga, berbagai jenis industri dan jasa, termasuk jasa angkutan dan keuangan, serta infrastruktur kota.

Sektor-sektor ekonomi dan infrastruktur inilah yang harus diprioritaskan pembangunannya sebagai sumber mata pencaharian utama dan penggerak kehidupan perekonomian warga kota. Untuk melengkapi kebutuhan hidup, tentu dibutuhkan berbagai fasilitas pendidikan, kesehatan dan rekreasi.

Hal inilah yang harus tercermin dalam perbandingan penggunaan anggaran belanja pembangunan dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) di kota-kota besar di Jabodetabek setiap tahun.

Sebagai contoh, banyak pasar-pasar tradisional di Jakarta yang dibiarkan kumuh dan telantar, padahal sebagian besar penduduk Jakarta adalah pedagang pasar tradisional tersebut. Hal serupa juga terdapat di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Demikian pula jasa angkutan yang megap-megap atau “hidup segan, mati tak mau”, padahal amat banyak warga kota yang memiliki jasa angkutan dan ribuan pula tenaga kerja yang hidupnya tergantung pada jasa angkutan kota tersebut.

Di sinilah sebenarnya peranan DPRD sebagai wakil rakyat, untuk menserasikan anggaran belanja untuk kesejahteraan masyarakat banyak, dengan belanja pegawai, termasuk anggota DPRD yang terus senjang. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS