Semua Merindukan Kebaikan

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

DI saat peristiwa kematian datang menjemput seseorang, apakah yang bersangkutan tokoh nasional atau hanya sebagai orang biasa-biasa saja, maka telah menjadi sebuah kebiasaan baik di negeri ini ketika mereka ditanya tentang tokoh tersebut dengan tulus akan mengatakan bahwa kenangan manis yang diingatnya adalah hal-hal tentang kebaikan almarhum semasa hidupnya.

Saat itu, hampir pasti semua orang yang dimintai pendapatnya secara sadar akan berhasil menutup kelemahan atau keburukannya meskipun diketahuinya kelemahan itu ada. Dan sikap kita memang sebaiknya begitu agar ada sambung rasa bahwa selalu berbuat baik adalah modal bagi kita untuk membangun sebuah keadaban dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Jika demikian suasana kebatinannya, maka diantara kita sejatinya ada semacam kerinduan yang mendalam tentang kebaikan demi kebaikan di sepanjang proses jalannya roda kehidupan. Kebaikan atau berusaha untuk selalu berbuat baik kepada siapa saja yang dilakukan oleh siapapun adalah memiliki nilai moralitas yang tinggi.

Kebaikan akan menjadi pendorong bagi terbentuknya semangat untuk saling berbagi, saling menghormati dan saling menguatkan untuk saling memberikan pengakuan satu sama lain. Indonesia yang plural sangat membutuhkan nilai moralitas yang seperti itu guna membangun peradabannya agar kedamaian, ketentraman yang terbentuk dapat abadi.

Alamarhum Bung Karno dan Bung Hatta meninggalkan kebaikan untuk negeri ini. Almarhum Pak Harto memimpin negeri ini selama 32 tahun juga meninggalkan kebaikan. Begitu pula almarhum Pak Taufik Kiemas dan tokoh-tokoh yang lain juga meninggalkan kebaikan bagi Republik yang kita cintai bersama dalam konteks dan kadarnya yang berbeda-beda.

Namun demikian, kalau kita memandang Indonesia hari ini sepertinya kebaikan itu tidak menampakkan diri. Kalaupun ada barangkali tertutup oleh awan atau salju sikap keburukan dan saling curiga karena persoalan etika, apakah etika politik atau etika pergaulan pada umumnya.

Berbuat baik disikapi secara negatif karena kebaikan itu dilakukannya dengan motif tertentu. Bayangkan jika setiap ada kebijakan pemerintah yang tujuannya baik, selalu “dicurigai” sebagai memiliki motif politik untuk pencitraan bagi rezim yang berkuasa, apa jadinya negeri ini.

Padahal prosesnya dibahas bersama antara pemerintah dan DPR tentang kebijakan yang akan diambil. Oleh sebab itu, membangun Indonesia ke depan tidak cukup hanya dipimpin oleh sosok yang pintar secara akademis, tetapi sosok tersebut harus memilki nurani dan moralitas yang selalu menjunjung tinggi nilai kebaikan sebagai X factornya. Mau belajar kebaikan demi kebaikan dari para pendahulunya.

Mampu mengorganisir nilai kebaikan yang ada pada parpol, ormas dan yang ada di masyarakat sebagai sumber kekuatan untuk mewujudkan Indonesia yang maju, kuat dan berperadaban. Indonesia tidak bisa dibangun oleh Demokrat, Golkar, PDIP, PAN, PKS, PPP, PKB, Hanura, Gerindra, Nasdem dan parpol yang lain. Indonesia hanya bisa dibangun dan dimajukan oleh seluruh komponen bangsa yang dipimpin oleh sosok pemimpin nasional yang berkemampuan mengorganisir seluruh komponen kebaikan pada seluruh komponen bangsa.

Sosok yang memiliki kapasitas merajut perbedaan sebagai sumber kekuatan. Karenanya, nilai moralitas kebaikan itu tidak hanya cukup diucapkan pada waktu mengenang jasa seorang tokoh disaat yang bersangkutan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kita pasti merindukan kebaikan kapan saja.

Kebaikan itu benar-benar terlahir dari sanubarinya dan secara sadar diyakini bahwa kebaikan itu adalah sebuah keniscayaan yang harus kita aktualisasikan dalam pikiran dan tindakan. ***

CATEGORIES
TAGS