Reklamasi Teluk Jakarta Ancam Kehidupan Nelayan

Loading

Oleh: Anthon P. Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

TIDAK kurang dari belasan ribu nelayan sepanjang pantai Muara Karang sampai Marunda yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya hayati Teluk Jakarta, kini terancam oleh rencana reklamasi atau pengurukan laut yang dilakukan, baik oleh perusahaan pemerintah maupun perusahaan swasta yang mendapatkan izin reklamasi dari instansi yang berwenang.

Kehidupan nelayan kita masih tergolong tradisional, baik pengetahuan maupun peralatannya. Sehingga, setiap perubahan dari kebiasaan, jelas sangat meresahkan karena mengganggu tata cara mencari nafkah, sebagai tulang punggung ekonomi keluarganya. Satu contoh pelaksanaan reklamasi dalam pembuatan Marunda Center oleh kapal tongkang di tengah laut (berjarak sekitar 15 kilometer dari daratan), membuat ratusan nelayan bagan yang hanya mengandalkan jaring dan lampu sorot, tidak bisa lagi menangkap ikan.

Ikan-ikan yang ada telah kabur, akibat suara keras dari penimbunan dan kapal tongkang yang beroperasi siang dan malam. Selain nelayan bagan, nasib serupa juga dialami nelayan sero yang jumlahnya ratusan orang. Mereka juga tidak bisa mencari nafkah, karena tidak bisa memasang jaring di perairan pesisir untuk menjebak ikan. Jaring mereka tertimbun oleh material penimbunan. Hal ini telah diadukan melalui organisasi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, namun instansi yang berkepentingan tidak menanggapinya.

Contoh lain, penggusuran tempat pelelangan ikan dan tempat penambatan perahu di Marunda, telah menyulitkan nelayan untuk mendaratkan perahu dan memasarkan hasil tangkapannya. Kesulitan serupa, juga terjadi di bagian pantai Muara Karang hingga daerah Kapuk yang menjadi lahan kehidupan para nelayan. Seharusnya, penentu kebijakan di negara ini, termasuk pemberi izin reklamasi, harus bertindak adil untuk semua pihak, terutama menyangkut nasib ratusan nelayan yang sudah terlebih dulu memanfaatkan sumber daya hayati yang ada di sepanjang pantai ini.

Reklamasi pantai Teluk Jakarta ini mulai dari Tanjung Priok, Ancol, Pluit hingga daerah Kapuk, merupakan incaran perluasan berbagai pengusaha besar properti perumahan, rekreasi, industri perhotelan, pergudangan dan pelabuhan. Sekalipun Kementerian Lingkungan Hidup telah mewanti-wanti ancaman yang lebih buruk sebagai dampak reklamasi ini, tetapi menguruk laut untuk memperluas areal bisnis, masih dirasa lebih menguntungkan, karena merupakan ekspansi dari kawasan yang sudah dimiliki. Yang menjadi korban pertama adalah nelayan kecil, karena langsung mencaplok lahan hidupnya, dan korban berikutnya tentunya penduduk Jakarta yang kelak bisa terancam banjir yang lebih besar.

Pembangunan Dam Raksasa

Selain akibat reklamasi tersebut, nasib nelayan Jakarta juga semakin terancam oleh rencana pembangunan dam raksasa di Teluk Jakarta yang dikenal sebagai proyek Jakarta Coastal Defence (JCD). Tenaga-tenaga ahli dari Belanda akan membangun dam raksasa yang direncanakan sepanjang 32 kilometer tersebut dan butuh areal sekitar 5.000 hektar di wilayah Bekasi, Jakarta dan Tangerang.

Pembangunan bendungan atau dam raksasa ini, dipastikan akan menggusur tempat tinggal dan areal tangkap para nelayan. Tujuan pembangunan JCD ini, memang untuk memisahkan pantai dan laut, menurunkan muka air di muara, mengurangi limpasan (backwater) dan menghindari intrusi pantai. Namun, proyek raksasa yang melindungi aset pemilik modal besar Jakarta ini, jelas tidak adil terhadap nasib nelayan. Apakah nelayan Teluk Jakarta ini akan digusur ke Kepulauan Seribu, atau ke arah pantai Karawang, Jawa Barat dan arah pantai Serang, Banten?

Nelayan Jakarta tercatat sekitar 12.000 keluarga yang tersebar di pantai Marunda, Cilincing, Kali Baru dan Muara Angke. Penimbunan pasir atau reklamasi Jakarta untuk memenuhi kepentingan investor dan pemilik modal besar, seharusnya dituntut tanggung jawab sosialnya untuk memberdayakan para nelayan dengan kehidupan baru, ataupun penerapan teknologi maju di bidang perikanan, bukan mematikan mata pencaharian mereka.

Seperti sudah diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Juni 2011, telah membatalkan seluruh pasal terkait hak pengelolaan perairan pesisir pada Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang mengurangi hak-hak nelayan. Pasca-putusan MK terkait UU Pesisir tersebut, disebutkan, adanya tiga hak konstitusional nelayan. Yaitu, hak melintas (hak melaut), hak memperoleh lingkungan yang sehat dan hak untuk mengelola sumber daya pesisir laut berdasarkan kearifan lokal, yang telah berlangsung secara turun-temurun. Nasib nelayan harus diperhatikan, dan putusan dalam Undang-undang ini, harus betul-betul dihormati. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS