Rakyat ”Menggugat“, Mengapa?

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

DARI rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Inilah yang memotivasi lahirnya opini berjudul Rakyat “Menggugat”. Apa yang akan digugat? Jawabanya tegas “Rakyat jangan jadikan obyek”. Karena itu, opini ini didahului dengan kalimat pembuka, yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Maknanya, rakyat memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam segala aspek kehidupan. Peluang dan kesempatannya juga sama, apakah untuk menjadi pemimpin, menjadi pengusaha atau menjadi apa saja di bidang kehidupan yang lain, kita semua punya hak yang tidak berbeda.

Inilah konsepsi yang hakiki tentang nilai dasar demokrasi, yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika menyimpang jauh dari konsep nilai dasar ini, rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, pasti akan menggugat karena rakyat merasakan hanya dijadikan obyek.

Obyek dari rezim penguasa untuk sekedar dijadikan vote gater. Setelah kekuasaan diperoleh, mereka cenderung “diabaikan”. Menjadi obyek atas nama pembangunan, rakyat diminta untuk berkorban melepas sejengkal lahan yang menjadi miliknya dengan ganti rugi sekedarnya.

Padahal, lahan itu adalah sumber penghidupannya. Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mencari ilmu sebanyak-banyak agar dengan penguasaan llmunya manusia bisa survival hidupnya. Menjadi sejahtera hidupnya di dunia dan saling memberi manfaat dan nilai guna bagi kehidupannya masing-masing.

Bermasyarakat, berorganisasi dan bernegara adalah sebuah kebutuhan agar keteraturan dan ketertiban dapat tercipta karena manusia tidak mungkin dapat melaksanakan aktifiasnya sendirian dan secara naluriah memang hidupnya cenderung ingin ngguyub.

Atas dasar saling percaya, manusia yang lain diberikan kesempatan untuk memimpin, bukan untuk “mengusai”. Sebab kalau konotasinya “mengusai”, maka wataknya akan berubah menjadi penguasa. Kalau memimpin konotasinya baik karena wataknya mendidik dan mengabdi, bukan menguasai.

Yang dipercaya menjadi pemimpin diberikan mandat agar organisasi atau negara yang dipimpinnya ada keteraturan dan ketertiban. Ibaratnya hanya menjadi pengatur lalu lintas kehidupan manusia/rakyat, sekali lagi bukan penguasa. Yang berkuasa sejatinya rakyat, bukan pemimpin apalagi penguasa.

Kalau penguasa menempatkan posisi rakyat sebagai obyek, rakyat akan sering menggugat. Penyebabnya adalah akses rakyat kepada sumber daya kehidupan acapkali sengaja disumbat. Unsur kesengajaan itu dilakukan agar sumber daya itu lebih banyak dikuasai dan dinikmati sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rezim pengusa dan para kroninya.

Kepentingan rakyat yang lebih luas cenderung tidak diurus dan diperhatikan, sehingga pantas rakyat “menggugat” karena hanya dijadikan obyek. Padahal dalam konteks pengejawantahan nilai dasar demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, rakyat tidak bisa dilihat dengan mata sebelah, tetapi harus ditempatkan posisinya sebagai subyek.

Karena itu, aksesnya ke sumber daya harus dibuka seluas-luasnya dan jangan disumbat. Yang bisa melakukan ini hanya pemimpin yang amanah yang tugas utamanya mengabdi kepada kepentingan rakyat. Pemimpin itu sekedar CEO, atau para manajer profesional yang hanya menjalankan misi agar rakyat bisa benar-benar bisa menjadi subyek.

Membimbing, memotivasi, memberikan inspirasi, mendidik dan memberikan contoh sebagai misi utamanya agar rakyat mandiri ketika menjadi subyek. Manakala rakyat merasakan manfaatnya, maka rakyat pasti akan mengucapkan apresiasinya dan tidak keberatan untuk membayar kewjibannya kepada organisasinya dimana rakyat berhimpun dan kepada negara dimana rakyat adalah para warga negaranya yang baik. taat kepada aturan main dan sebagainya.

Jadi potensi rakyat akan “menggugat” tergantung pada dua situasi yang berbeda. Pertama, kalau rakyat hanya dijadikan obyek dan aksesnya ke sumber daya disumbat secara sengaja. Potensi “untuk menggugat” sangat besar terjadi pada situasi yang seperti itu.

Kedua, potensi rakyat untuk “menggugat” sangat kecil untuk terjadi secara masif, karena posisi rakyat sebagai subyek diberikan tempat dan dibuka aksesnya ke sumber daya secara luas oleh pemimpin yang amanah, bukan oleh penguasa, apalagi dizalimi.

Oleh sebab itu, opini ini membuat premis kehidupan bahwa kemiskinan, pengangguran, kesenjangan adalah akibat dari rakyat hanya diposisikan sebagai obyek. Padahal kalau posisinya dibimbing dan dididik dan dimotivasi di bawah kepemimpinan yang baik dan amanah, rakyat akan bisa menjadi subyek yang baik dan bertanggungjawab dan tidak gampang untuk sering menggugat. Semoga mencerahkan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS