Pragmatisme
Oleh: Fauzi Aziz
BEBRAYAN lan seduluran adalah hakekat nilai kemanusiaan paling mulia dari serangkaian konsep kehidupan, seperti halnya falsafah hidup yang mengatakan bahwa kita harus merasa senasib sepenanggungan. Karena itu mempelajari falsafah hidup dari manapun sumbernya menjadi penting, tanpa harus berniat untuk saling menafikkan satu sama lain.
Falsafah adalah tuntunan kehidupan dan bukan tontonan dan tuntutan di panggung kehidupan. Falsafah adalah pedoman hidup yang bisa mengantarkan kematangan berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satunya yang esential adalah urip kudu bebrayan dan kudu seduluran untuk saling mendapatkan kemuliaan dan kehormatan, serta manfaat. Adigung adiguna sering dikatakan orang jawa. Mikul duwur mendem jero, ini falsafah jawa yang amat dalam maknanya bagi kehidupan yang santun.
Tapi tidak berarti harus mangan ora mangan kumpul karena rezki ditabur oleh Tuhan dimana saja dan semua manusia memiliki hak yang sama untuk meraihnya.
Kita sudah hidup di alam kemerdekaan secara fisik dan mental selama 71 tahun. Tapi rupanya tidak semua dapat menangkap makna kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep ini barangkali terlalu tinggi dirumuskan. Barangkali sang perumus sedang bergelut dalam pikirannya banyak hal yang harus dituangkan, sehingga lahirlah konsep tentang berbangsa dan bernegara.
Padahal karakter esensialnya adalah urip kudu bebrayan,kudu seduluran,rukun agawe sentosa dan saling berdamai. Sebab itu berbangsa dan bernegara sejatinya adalah konsep kelembagaan kehidupan yang dirancang agar setiap individu memiliki kekuatan yang hakiki, selain bisa mengurus dirinya sendiri, juga dapat mengurus kehidupan yang luas.
Falsafah dasarnya adalah manusia sebagai mahluk sosial yang hidup di lingkungan yang lebih luas dituntun untuk melembagakan sistem sosial yang teroganisir dan tunduk pada tatanan kultur, norma yang berlaku umum agar tidak terjadi peristiwa kemanusiaan yang merugikan nilai kemanusiaan itu sendiri sehingga secara sosial, politik, ekonomi dan hukum dipandang perlu untuk melindungi sebuah organisasi sosial politik bernama bangsa dan negara.
Kalau penghayatan dan pemahaman terhadap kultur dan norma umum yang menjadi tuntunan dangkal bahkan kosong sama sekali, maka sudah pasti akan banyak peristiwa sosial, politik, hukum dan ekonomi menjadi ancaman keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergaulan kita, kerjasama dan kerja bersama yang kita lakukan dengan pihak manapun dimanapun adalah merupakan bagian inti dari pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tim sepak bola, bulu tangkis atau apapun dan berlaga dimanapun selalu mengatasnamakan bangsa dan negara. Apalagi kerjasama antar negara, pasti akan mewakili kepentingan bangsa dan negara, yakni Indonesia. Oleh sebab itu, falsafah juga memberikan koridor, yakni antara lain ojo nggege mongso,ojo dumeh, aji mumpung dan sebagainya.
Negeri ini kaya sekali dengan pandangan hidup yang baik untuk menjaga keutuhan NKRI, melindungi segenap kepentingan bangsa dan negara, tanpa harus merugikan kepentingan pribadi atau golongan. Kita semua adalah saudara, meskipun tidak sedarah, sedaging. Tetapi kita harus merasa senasib sepenanggungan untuk mengurus negeri ini.
Akhirnya, ada satu hal yang perlu kita camkan bersama bahwa kita dewasa ini terdorong oleh pragmatisme. Sikap ini tidak salah karena paradigma ini datangnya dari luar, sehingga terjebak alam sadar dan bawah sadarnya terkecoh dan terstigma oleh pikiran pragmatis bahwa beridiologi dan berfalsafah itu tidak penting lagi karena dianggap tidak realistik.
Bangsa ini terjebak oleh penyakit demokrasi yang bernama pragmatisme. Sekarang kita gegeran sendiri setelah banyak fenomena menghantui kita seakan negeri ini akan runtuh karena gagal mengurus rumah tangganya sendiri, rumah tangga bangsa dan negara. Kok kaget dan khawatir.
Negerinya sendiri diolok-olok tidak berdaya saing dan sadarlah bahwa ketidak dapat bersaingnya itu terjadi karena bangsa ini suka bermain-main dengan dirinya sendiri yang mengakibatkan daya saing nasional jeblok.
Peristiwa dan musibah yang melanda negeri adalah akibat bukan sebab. Yakni akibat kita suka bersikap sembrono mengurus kehidupan berbangsa dan bernegara, meskipun dari warganya ada yang sukses mengurus dirinya sendiri atau kelompoknya. Perjalanan Indonesia menuju karakter nya yang asli masih panjang dan berliku karena sudah terlanjur terikat dengan persoalan pragmatism. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).