PPN Naik Mulai 2025, Apa Dampaknya Pada Daya Beli Masyarakat?
Oleh: Faradina Isma Iliyuana Vivinnazila
PADA 2025, Indonesia akan menghadapi perubahan signifikan dalam kebijakan pajak, yaitu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kebijakan ini menjadi sorotan banyak pihak karena akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat.
PPN adalah pajak yang dikenakan atas barang dan jasa yang diperdagangkan di pasar dan hampir setiap transaksi yang melibatkan barang dan jasa akan dikenakan pajak ini. Oleh karena itu, perubahan tarif PPN bukanlah hal yang bisa dianggap sepele.
Kenaikan PPN menjadi 12% dari yang sebelumnya 11% tentu memiliki implikasi besar. Meskipun pemerintah menjelaskan bahwa kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperbaiki defisit anggaran, banyak pihak yang khawatir akan dampak sosial-ekonominya, khususnya terhadap daya beli masyarakat yang sudah tertekan oleh berbagai faktor ekonomi.
Pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya untuk menyeimbangkan perekonomian negara. Salah satu tujuan dari kenaikan PPN adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak yang akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan dan pengelolaan anggaran negara.
Pemerintah juga berargumen bahwa dengan kenaikan PPN, sektor- sektor ekonomi yang lebih besar akan dapat berkontribusi lebih banyak terhadap pembiayaan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan mengoptimalkan belanja negara.
Tuai Pro Kontra
Namun, meskipun tujuannya adalah untuk stabilitas ekonomi makro, kebijakan ini tetap menuai pro dan kontra. Bagi sebagian kalangan, kenaikan PPN ini akan menjadi beban tambahan, terutama bagi masyarakat yang memiliki penghasilan terbatas. Peningkatan tarif pajak ini bisa menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa yang berimbas langsung pada biaya hidup sehari- hari.
Kendarti kenaikan PPN hanya disebut pada barang-barang mewah tertentu, akan tetapi dampaknya akan langsung dirasakan oleh konsumen dalam bentuk kenaikan harga barang dan jasa. PPN merupakan pajak yang akan berpenbgaruh pada hampir seluruh barang konsumsi, mulai dari makanan hingga produk elektronik.
Misalnya, harga makanan yang terpengaruh oleh kenaikan PPN ini dapat mencakup kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, sayur dan bahan makanan lainnya. Produk-produk lain yang lebih mahal, seperti kendaraan, rumah, atau barang elektronik, juga akan mengalami kenaikan harga.
Semakin Tertekan
Masyarakat yang memiliki penghasilan terbatas akan lebih merasakan dampak ini. Mereka yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akan semakin tertekan dengan harga barang yang semakin tinggi. Misalnya, untuk keluarga dengan pendapatan menengah ke bawah, setiap kenaikan harga barang pokok dapat mengurangi daya beli mereka, yang akhirnya mempengaruhi kualitas hidup.
Peningkatan tarif PPN ini juga berpotensi memberikan dampak negatif pada sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM). UKM, yang selama ini berjuang dengan tantangan modal dan daya saing, kini harus menghadapi lonjakan biaya operasional akibat kenaikan PPN. Sebagian besar UKM mungkin tidak mampu menyerap kenaikan ini tanpa harus menaikkan harga jual produk mereka, yang bisa membuat mereka kehilangan pelanggan. Masyarakat yang sudah kesulitan dengan daya beli mungkin akan beralih ke produk yang lebih murah atau bahkan mengurangi pembelian barang yang tidak terlalu penting.
Bagi banyak pengusaha kecil, kenaikan PPN berarti mereka harus menghadapi persaingan yang lebih ketat dan menurunnya volume penjualan. Ini tentu memengaruhi pendapatan mereka dan bisa memperburuk kondisi ekonomi di tingkat mikro. Dampak ini bisa lebih terasa di sektor- sektor yang bergantung pada konsumsi dalam jumlah besar seperti makanan, pakaian, dan barang- barang rumah tangga.
PPN yang lebih tinggi berarti pengeluaran rumah tangga akan meningkat. Masyarakat, terutama yang berada di kalangan menengah ke bawah, akan merasakan dampak langsungnya pada setiap pembelian barang dan jasa.
Sebagai contoh, barang-barang seperti bahan bakar, transportasi, atau bahkan layanan seperti pendidikan dan kesehatan, bisa menjadi lebih mahal. Kenaikan ini akan mengurangi kapasitas masyarakat untuk membeli barang lain yang lebih dibutuhkan atau mengalihkan anggaran untuk konsumsi ke kebutuhan pokok saja.
Selain itu, rumah tangga yang sebelumnya sudah berhemat untuk mengatasi pengeluaran yang terbatas, kini harus menghadapi pengeluaran yang lebih tinggi akibat kenaikan tarif PPN.
Untuk mereka yang tidak memiliki tabungan atau cadangan dana, kenaikan harga barang dan jasa ini dapat mempengaruhi pola konsumsi mereka dan memperburuk kesejahteraan ekonomi keluarga.
Sebagai akibat dari kenaikan harga barang dan jasa, konsumen akan mulai mencari alternatif lain untuk menekan pengeluaran mereka. Salah satu dampak yang bisa muncul adalah pergeseran pola konsumsi. Misalnya, konsumen yang sebelumnya membeli barang dengan kualitas premium, seperti makanan organik atau produk impor, mungkin beralih ke produk dengan kualitas lebih rendah dan harga lebih terjangkau.
Pergeseran ini bisa menyebabkan perubahan dalam pasar. Barang-barang yang dianggap tidak esensial bisa mengalami penurunan permintaan, sedangkan produk dengan harga lebih terjangkau akan lebih banyak dicari. Masyarakat yang lebih memilih untuk berhemat akan mengurangi pembelian barang-barang yang dianggap kurang penting dan ini bisa berpengaruh pada sektor bisnis tertentu.
Meskipun banyak pihak yang mengkhawatirkan dampaknya pada daya beli masyarakat, ada juga argumen yang menyebutkan bahwa kenaikan PPN bisa membawa manfaat bagi perekonomian makro. Salah satu dampak positif yang dapat diharapkan adalah peningkatan penerimaan pajak yang bisa digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan ekonomi. Pembangunan infrastruktur yang lebih baik dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, menciptakan lapangan pekerjaan baru, dan mengurangi kemiskinan.
Namun, manfaat tersebut harus dipastikan agar dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Tanpa pengelolaan yang baik, kenaikan PPN hanya akan memperburuk kesenjangan ekonomi dan memperberat beban masyarakat yang sudah tertekan oleh inflasi dan biaya hidup yang semakin tinggi.
Peningkatan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 tentu memiliki dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, khususnya bagi mereka yang berada dalam kelompok berpendapatan rendah hingga menengah. Kenaikan harga barang dan jasa yang disebabkan oleh kenaikan PPN ini bisa mempengaruhi pola konsumsi masyarakat, memperburuk daya beli, dan memperburuk kesejahteraan ekonomi keluarga.
Namun, dengan kebijakan yang tepat, termasuk pengawasan terhadap harga barang dan penyuluhan mengenai penggunaan pendapatan negara, pemerintah masih memiliki kesempatan untuk meminimalkan dampak negatif dari kebijakan ini.
Peningkatan penerimaan pajak dari kenaikan PPN seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat, termasuk dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang.
Sebelum keputusan ini dilaksanakan, penting bagi pemerintah untuk melakukan komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat, mendengarkan kekhawatiran mereka dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa dampak negatif dari kenaikan PPN dapat diminimalkan, sehingga kebijakan ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi negara, tetapi juga bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. (Penulis adalah mahasiswa Universitas Islam Malang)