Pokoknya Harus Naik

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

ilustrasi

ilustrasi

PEMERINTAH akhirnya resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Protes, demo, penolakan keras dan sejumlah aksi yang dilakonkan rakyat untuk menghentikan langkah pemerintah menaikkan harga BBM itu tak direken penguasa dan akhirnya kandas. Niat penguasa tidak bisa diintervensi rakyat walau nantinya seluruh kebijakan penguasa, yang merasakan dan menanggungnya adalah rakyat.

Korban-korban yang berjatuhan seperti kena lemparan batu, sambitan ketapel bahkan penembakan aparat kepolisian serta bentrokan antara warga dengan aparat, tidak akan pernah dijadikan alat untuk mempertimbangkan kehendak penguasa untuk menaikkan harga BBM. Pokoknya harus naik, apapun yang terjadi.

Sebagai konvensasi atas kenaikan harga BBM tersebtu, pemerintah di era rezim SBY-Boediono menelorkan kebijakan yang diberi label Bantuan Langsung Sementara Masyarakat atau disingkat dengan BLSM.

BLSM akan diberikan kepada 15,5 juta kepala keluarga Indonesia yang dikategorikan miskin dan masing-masing warga mendapat Rp 150.000 selama empat bulan. Setelah itu, BLSM dihentikan Kenaikan BBM dan dampaknya yang mendongkrak harga kebutuhan pokok ditanggung sendiri oleh masyarakat.

Maka tidak heran jika kebijakan yang meluncurkan BLSM menuai kitikan bahkan tidak sedikit warga menolaknya. Kata-kata ‘’bantuan’’dan ‘’sementara’’ dalam isitilah BLSM dilihat sebagai ungkapan aneh dari pihak penguasa.

Pasalnya, kata “bantuan” menunjukkan rakyat adalah objek yang dikasihani pihak lain yang tak ada hubungannya dengan mereka. Padahal dalam sistem negara yang menganut demokrasi, rakyat adalah “tuan”, bukan “client” dan sejatinya, pemerintah adalah “jongos-nya” rakyat.

Anehnya lagi, pemberian yang bersifat bantuan itu, life time-nya hanya sementara- hanya empat bulan. Lalu untuk seterusnya…bagaimana, kendati dampak naiknya harga BBM harus ditanggung rakyat untuk selamanya.

Padahal, yang kita tahu, bahwa kewajiban dan tanggungjawab pembentukan Pemerintah Negara Indonesia pada hakekatnya adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya, seperti termaktum dalam pembukaan UUD 1945. Dan bukan hanya sementara, tapi untuk selamanya.

Karena itu, kita menjadi heran dengan kata-kata “sementara” dalam kebijakan penguasa sehingga terkesan pemerintah dalam menjalankan programnya tidak karena sebuah tanggungjawab dan kewajiban, bukan by design tapi by eksiden. Pasalnya, tidak masuk akallah jika untuk memajukan kesejahteraan umum dilakukan hanya bersifat sementara.
Kebijakan yang sifatnya berkelanjutan-pun, belum tentu bisa menjamin kesejahteraan rakyat akan terpenuhi.

Artinya lagi, untuk memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia serta mencerdaskan bangsa adalah menjadi tanggungjawab penuh dan kewajiban pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan hal inilah, pemerintah wajib hukumnya menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah, pendidikan dan berobat gratis dan kemudahan lainnya kepada seluruh rakyat.

Lagi-lagi dengan kata-kata ‘’bantuan’’ dan ‘’sementara’’ dalam kebijakan tersebut membuat kesan penguasa menjadi orang asing bagi warga negeri tercinta ini dan tidak satu kesatuan yang utuh.

Sebaiknya dan akan lebih bermanfaat, jika dana konvensasi itu diberikan dalam bentuk bantuan modal atau memperbanyak lapangan pekerjaan, seperti pameo yang mengatakan ‘’lebih baik beri alat pancing ketimbang beri ikan’’. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS