Petrus Mempertanyakan; Kenapa Polisi Tampil Menjadi Centengnya Penguasa …..

Loading

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Bareskrim Polri kembali menolak laporan Advokat-Advokat TPDI dan Perekat Nusantara. Alasannya bukan wewenang Bareskrim Polri, tetapi wewenang Gakumdu di Bawaslu.

Sebelumnya, Jumat 1/3/2024 Laporan Polisi tentang dugaan manipulasi suara hasil Pilpres 14/2/2024 itu, juga ditolak Bareskrim. Namun laporan secara tertulis yang disampaikan kepada Kabareskrim diterima bagian Dumas.

‘’Kami sangat kecewa atas sikap Bareskrim yang tidak peduli terhadap laporan masyarakat tentang adanya manipulai suara pada Pilpres 2024 lalu. Lagi-lagi kami meminta Polri agar tidak tampil menjadi bodyquard atau jadi centengnya penguasa akan tetapi wajib mengayomi seluruh warga negara negeri ini,’’ kata Koordinator TPDI dan Perekat Nusantara, Petrus Selestinus kepada wartawan di Jakarta, Senin. Saat itu Petrus Selestinus bersama Erick S, Paat, Robert B, Keytimu dan Ricky Moningka.

Padahal kata Petrus, laporan polisi yang hendak disampaikan itu berisi dugaan terjadi kejahatan politik kelas tinggi, menyangkut kelangsungan kepemimpinan nasional yang lahir dari pemilu yang harus jujur dan adil.

‘’Apalagi ini berupa dugaan manipulasi suara hasil Pemilu/Pilpres 2024, karena penggunaan Aplikasi Sirekap produk ITB-KPU bermasalah, bahkan diduga dirancang dengan kemampuan untuk menambah, mengurangi atau mengendalikan suara yang masuk secara ilegal dan menguntungkan Capres-Cawapres tertentu,’’ jelasnya.

Indikasinya lanjut Petrus, antara lain pada saat proses penghitungan suara sejak 14/2/2024 sampai sekarang stagnan pada posisi angka perolehan suara Paslon Capres tetap sama, tidak bertambah atau berkurang secara signifikan kepada tiga Paslon Capres, sehingga menuai pro-kontra di sebagian masyarakat.

Advokat-Advokat TPDI & Perekat Nusantara, dalam Laporannya yang akan disampaikan ke Bareskrim Cq. Dittipidsiber Bareskrim Polri pada Senin, 4/3/2024 itu, kembali akan meminta kepada Bareskrim Polri agar memanggil guna didengar keterangan sejumlah pihak antara lain;

  1. Reini Wirahadikusumah, Rektor ITB di Bandung.
  2. Ilham Saputra, Ketua KPU periode 2021-2022 (menggantikan Ketua KPU Arief Budiman).
  3. Hasyim Asy’ari, Ketua KPU RI sekarang di Jakarta.
  4. Yulianto Sudrajat, Anggota KPU RI di Jakarta.
  5. Agust Mellaz, Anggota KPU RI di Jakarta.
  6. Betty Epsilon Idroos, Anggota KPU RI di Jakarta.
  7. Persadaan Harahap, Anggota KPU RI di Jakarta.
  8. Idham Holik, Anggota KPU RI di Jakarta.
  9. Mochammad Afifuddin, Anggota KPU RI di Jakarta.
  10. Bernad Dermawan Sut.isno, Sekjen KPU RI di Jakarta.
  11. Gusti Ayu Putri Saptawati, selaku Wakil Rektor ITB Bidang Sumber Daya.

Keterlibatan Pihak ITB dalam proyek Aplikasi Sirekap ini bermula dari adanya Nota Kesepahaman antara KPU dengan pihak ITB Tentang Kerjasama Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam  Mendukung Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024, No. : 16/8PR.07/012021; No. : 034/IT1.A/KS.00/2021, tanggal 1/10/2021 yang ditanda tangani oleh Ilham Saputra, Ketua KPU RI dan Reini Wirahadikusumah selaku Rektor ITB.

Keterlibatan ITB

Dalam Nota Kesepahaman antara KPU dan pihak ITB itu, disepakati  bahwa untuk Korespondensi guna menjamin kelancaran pelaksanaan Nota Kesepahaman dimaksud, maka baik KPU maupun  ITB masing-masing menunjuk Wakilnya sebagai pejabat penghubung dan untuk itulah Pihak KPU menunjuk Sekjen KPU, Bernad Dermawan Sutrisno, sedangkan pihak ITB menunjuk Wakil Rektor ITB Bidang Sumber Daya, Gusti Ayu Putri Saptawati.

Hasil kerja sama ini kata Petrus, kemudian dinilai bermasalah, karena beberapa Fakta dan Peristiwa yang terjadi antara lain :

Pertama, hasil perolehan suara Pasangan Capres-Cawapres tetap stagnan di angka yang nyaris sama sejak hari pertama pencoblosan pada 14/2/ +2024 hingga 4/3/2024 yaitu untuk 01 = 24,4 %; 02 = 58,83% dan 03 = 16,68% (berubah tidak signifikan).

Kedua, pengakuan Ketua KPU bahwa terjadi kekeliruan pada 154.514 TPS dari 880.220 TPS di seluruh Indonesia atau sekitar 18%.

Ketiga,  ada temuan seorang pakar ITE, Sdr. M. Agus Maksum bahwa pihaknya menemukan 54 Juta Suara Tidak Sah karena sudah dicoblos untuk Paslon tertentu.

Keempat, Ahli ITE KRMT. Roy Suryo, dalam investigasi dan temuannya bahwa Server SIREKAP KPU diketahui berada di luar negeri, disebut-sebut di RRC (China), Prancis dan  Singapura, yang terkoneksi menggunakan provider Alibaba Cloud.

Kelima, Menurut Ahli IT KRMT Roy Suryo, bahwa pemindahan server Sirekap KPU dari Singapur ke Jakarta dilakukan secara diam-diam oleh KPU tanpa ada Berita Acara secara resmi.

Manipulasi Suara

Keenam, ada kemungkin atau dugaan kuat bahwa Server Sirekap KPU dirancang juga dengan kemampuan untuk mamanipulasi suara hasil Pemilu dan mengamankan hasil manipulasinya.

Ketujuh, perolehan suara PSI mendadak naik dari angka 2,8%  menjadi 3,13%, dalam beberapa hari terakhir.

Kedelapan, ada dugaan korupsi dalam Penyelenggaraan Pemilu dengan menggunakan ITE termasuk dalam pembuatan Aplikasi Sirekap untuk digunakan dalam Pemilu 2024.

Seiting dengan itu beberapa kejanggalan muncul menyertai fakta-fakta di atas yaitu kejadian 14/2/2024 Aplikasi Sirekap macet alias mati tidak berfungsi (shut down), dari pukul 14.00 s/d Pukul 19.20 WIB. dan oleh beberapa pakar dalam analisisnya menilai bahwa pukul 14.00 sampai dengan pukul 19.20 WIB itulah terjadi manipulasi suara melalui Sirekap terjadi.

Menurut beberapa ahli ITE, penggunaan Aplikasi Sirekap KPU yang menghasilkan penghitungan perolehan suara para Capres-Cawapres pemilu 2024, semakin membingungkan dan tidak masuk di akal sehat publik, sementara KPU tidak transparan menyikapi sorotan publik mengenai angka perolehan suara Capres-Cawapres stagnan di angka yang sama sejak awal.

‘’Karena itu, kita seharusnya patut dapat menduga bahwa pemesanan Aplikasi Sirekap pada pakar-pakar IT di ITB, bisa juga sekaligus dipesan perangkat teknologi yang sama canggihnya dengan kemampuan untuk mengubah, mengurangi dan menambah bahkan menahan angka-angka pada nilai tertentu secara ilegal,’’ ujar Petrus.

‘’Karena itu peran Sirekap yang katanya sebagai alat bantu justru berubah fungsi menjadi alat utama memanipulasi suara hasil penghitungan suara sehingga merusak dan mempengaruhi perhitungan secara manual kelak,’’ lanjutnya.

Petrus menggambarkan, saat ini posisi masyarakat berada dalam keterbelahan atau polarisasi antara yang pro yaitu percaya pada perolehan suara hasil Sirekap dan yang kontra yaitu tidak percaya terhadap hasil perhitungan Sirekap produk ITB.

Polarisasi atau keterbelahan masyarakat tidak berkesudahan bahkan semakin mengkristal dalam dua kelompok berhadap- hadapan di lapangan akhir-akhir ini.

Sebagian besar kelompok masyarakat berpendapat bahwa perolehan suara hasil Aplikasi Sirekap yang menempatkan perolehan suara Paslon Capres-Cawapres 01 = 24,4%; 02 = 58,83% dan 03 = 16,68% sejak hari pertama pencoblosan tanggal 14/2/2024 sampai sekarang 1/3/2024 angka perolehan suara ketiga Capres-Cawapres tidak berubah secara signifikan sebagai suatu yang janggal dan sulit dipercaya.

Publik lantas mencurigai ketimpangan perolehan suara hasil Sirekap antara Paslon Capres-Cawapres, sebagai telah terjadi manipulsi atau rekayasa.

‘’Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan Kepolisian termasuk Audit Forensik guna memastikan apakah benar telah terjadi penggelembungan suara atau penambahan suara ataupPengurangan suara melalui Aplikasi Sirekap,’’ katanya.

Polisi Tidak Bertindak

Dikatakan oleh Petrus, meskipun keadaan di lapangan, terjadi polarisasi yang semakin eskalatif dan mengarah kepada konflik horizontal, namun sikap diam Bareskrim Polri yang sejak dini tidak melakukan tindakan Kepolisian secara pro-aktif terhadap Sirekap, sangat disesalkan.

‘’Bareskrim Polri seharusnya melakukan serangkaian tindakan Kepolisian di TKP yaitu berupa mengamankan server Sirekap guna penyelidikan sebagai respons terhadap tuntutan publik dan para pakar tentang dugaan rekayasa perolehan suara Paslon Capres-Cawapres melalui Sirekap. Tapi itu tidak dilakukan, ada apa dengan polisi ?,’’ Petrus bertanya.

Sikap Bareskrim Polri dinilai sebagai pembiaran terhadap kondisi Kamtibmas yang semakin tidak kondusif semata-mata karena Bareskrim Polri tidak peka atau karena sejak awal Polri dinilai berada pada posisi tidak netral sehingga salah tingkah dalam menyikapi polarisasi masyarakat dalam hal dukungan dan pilihan politik terhadap Paslon Capres 01, 02 dan 03.

Oleh karena itu, tegas Petrus, informasi dan fakta sebagaimana saat ini sudah menjadi perdebatan publik yang menghadapkan masyarakat pada dua kelompok besar antara pro-kontra, maka Bareskrim Polri Cq. Dittipidsiber dirasa perlu melakukan tindakan Kepolisian karena memiliki wewenang dan keahlian yang memadai untuk memastikan mana yang benar, dengan terlebih dahulu secara profesional melakukan Audit Forensik melalui sebuah Tim Investigaai Independen, karena lembaga yang ada seperti  BAWASALU, DKPP, MK bahkan POLRI tidak dipercaya lagi dalam soal Pemilu 2024.

Beredar berbagai analisa, fakta dan pendapat dari banyak kelompok yang menduga bahwa hasil Pilpres 14 Februari 2024, terjadi kecurangan/pelanggaran mengarah ke tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 32, 33, 34, 35, 36, dan 37 jo pasal 48, 49, 50, dan pasal 52 UU No. 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik sebagai perbuatan yang dilarang. (sabar)

 

CATEGORIES
TAGS