Pengguna Dana APBN Tidak Boleh “Cuci Tangan”

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

MENTERI di kementerian mana pun tak terkecuali Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang pernah dikomandani Andi Alfian Mallarangeng (AAM) telah dilegitimasi sebagai pengguna anggaran yang disalurkan melalui dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi seorang Menteri bersikap alpa untuk suatu pembenaran akan sikap tidak tahu menahu detail, soal kemana dan untuk apa saja dana APBN itu digunakan sekaligus pertanggungjawaban administrasi keuangan dan penggunaannya.

Sehingga konsekwensi juridisnya Menteri selaku pengguna anggaran dana APBN itu tidak boleh “cuci tangan” dengan dalih penyelewengan terjadi di tingkat jabatan pelaksana teknis yang semata ditudingkan pada bawahannya yakni Sekjen Menpora dan rekanan pengusaha kontraktor PT. Widkaya Karya.

Sepanjang menyangkut kerugian negara maka tidak bisa lagi sekedar penyalahgunaan jabatan (wewenang) yang patut diarahkan kepada seorang Menteri tetapi juga sekaligus dijerat dengan pasal dugaan atas keterlibatannya terkait kejahatan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang melilit proyek Hambalang.

Beda halnya jika penyalahgunaan jabatan itu sekedar kesalahan administratif yang tidak berdampak atas kerugian negara maka penyelesaiannya cukup di rana Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Menyangkut suatu alasan bahwa si pengguna anggaran itu tidak tahu menahu soal pelaksanaan teknis, itu berarti telah mengakui dirinya alpa melaksanakan tugas dan kewajibannya selaku Menteri. Padahal, kealpaan tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenaran, alasan pemaaf atau pemakluman terjadinya penyimpangan keuangan negara sekecil apapun.

Bisa dibayangkan ketika seorang petugas plang lintas rel kereta api alpa melakukan yang seharusnya dilakukan saat kereta api melintas, apa yang terjadi? Pastinya korban akan bergelimpangan terseret ditabrak gerbong kereta api. Padahal sebagai manusia mungkin saja petugas plang kereta api saat itu sedang mengantuk atau ngelamun sehingga tidak sadar kereta api sedang melintas.

Apakah dengan demikian petugas plang rel lintas kereta api itu seyogyanya dilepaskan saja dari pertanggungjawaban hukum hanya dengan dalih sedang alpa..? Tentu saja hal yang tidak mungkin. Ilustrasi ini mungkin bisa saja disandingkan dengan kasus yang sedang menerpa Mantan Menpora AAM, sejak 6 Desember 2012 berstatus sebagai tersangka dugaan korupsi terkait proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang Bogor Jawa Barat atas dana yang diproyeksikan Rp 1 triliun pada tahun anggaran 2010-2012.

Hasil penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditemukan bukti berdasarkan perhitungan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari dana APBN yang dikucurkan sebesar Rp 1 triliun itu telah terjadi penggerogotan keuangan negara hingga mencapai Rp 465 miliar.

Modus operandi kriminalitas “berdasi “ ini juga melibatkan AAM, sehingga dijerat telah melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sejak distatuskan sebagai tersangka sepuluh bulan rentang waktu, AAM masih bebas sepenuhnya kumpul bersama keluarga.

Namun sejak 17 Oktober 2013 isteri dan anak-anak bersama keluarga besar Mallarangeng, harus berpisah sementara, seiring pelepasan AAM pindah hunian ke ruang sel kerangkeng tahanan di lantai dasar gedung KPK, mengikuti Sekjen Menpora Hafid Muharam anak buahnya yang sudah lebih dulu merasakan pengab udara hotel prodeo terkait peranannya selaku pejabat pembuat komitmen proyek Hambalang.

Pengapnya ruang sel tahanan juga dirasakan sesama tersangka lainnya, seorang pengusaha kontraktor PT. Widjaya Karya. Rizal Mallarangeng (RM) yang bertindak selaku Juru Bicara tersangka AAM menyatakan bahwa kakak kandungnya itu sama sekali tidak bersalah. Penahanan terhadap AAM adalah hak KPK yang harus dihormati, RM sepakat.

Namun RM senada “menggugat” bagaimana jika saatnya di pengadilan, hakim memutus kakaknya itu tidak bersalah kemudian divonis bebas, lalu siapa yang harus minta maaf atas perampasan kemerdekaan selama penahanan yang dilakukan KPK?

Akan dibuktikan di pengadilan. Namun, mengacu pada syarat mutlak yang harus dipegang teguh sesuai KUHAP (Kitab UU Hukum Acara Pidana) penyidik KPK baru bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka bila telah memiliki minimal dua alat bukti. Syarat minimal ini menurut Juru Bicara KPK Johan Budi telah terpenuhi, sehingga hakimlah tempatnya menguji kebenaran. Kita tunggu saatnya AAM dimejahijaukan di Pengadilan Tipikor Jakarta, apa hasilnya? ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS