Pelecehan Seksual di Angkot Karena Moral Bejat

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

UNTUK mencegah dan menghindari pemerkosaan di angkutan kota (angkot), instansi yang berkepentingan dengan pelayanan angkutan umum harus sunguh-sungguh membenahi operasional angkutan umum. Setidaknya ada tiga unsur yang amat berperan untuk menjamin operasional angkutan umum yang aman, nyaman dan lancar. Yakni, pemilik angkutan umum sendiri, Dinas Perhubungan dan Polisi Lalu Lintas (Polantas).

Memang, pelecehan seksual sampai tindakan pemerkosaan, sesungguhnya disebabkan moral yang bejat. Bukan hanya semata-mata karena ada kesempatan, atau karena ada faktor yang memancing untuk berbuat tindakan yang tidak senonoh,sepereti rok mini. Moral bejat memang sering dipertontonkan hampir seluruh unsur-unsur yang diharapkan terhormat di negeri ini, seperti anggota DPR yang asyik menonton film porno saat bersidang.

Namun, moral yang bejat, hanya dapat ditangkal dengan pengawasan yang ketat dan aturan-aturan yang harus dilaksanakan secara konsisten. Wibawa petugas dan aparat berwenang juga harus dibangun, jangan menjadi murahan karena bisa dibeli atau disogok dengan “uang”.

Pemilik angkutan umum harus mengawasi ketat operasional angkutan miliknya, seperti kendaran yang harus sesuai peraturan, baik keadaan bodi dan mesin kendaraan yang baik, izin trayek dan jam operasionalnya, termasuk pemakaian kaca film yang tingkat kegelapan hanya 30 persen. Sopirnya harus memenuhi syarat SIM Umum dan berperilaku yang baik, serta kalaupun ada sopir pengganti atau sopir tembak haruslah sepengetahuan pemilik. Untuk tugas pengawasan, pemilik angkutan bisa juga mendelegasikannya kepada induk organisasi angkutan umum, seperti yang berbentuk perkumpulan, koperasi, atau perseroan terbatas (PT). Umumnya, setiap pemilik angkutan umum dikenakan iuran atau dana kontribusi ke induk organisasinya. Tetapi, tanggung jawab hukumnya, tetap pada pemilik angkutan umum.

Dinas Perhubungan dan Polantas, selain bertanggung jawab atas pengeluaran perizinan-perizinan operasional, kir, trayek, maupun SIM Umum, harus pula melakukan pengawasan yang ketat terhadap perizinan yang dikeluarkan, serta pengawasan yang konsisten terhadap pelaksanaan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Banyak izin trayek yang diperoleh dengan cara yang tidak benar, serta banyak pula sopir-sopir angkutan umum yang tidak menggunakan SIM Umum seperti yang dipersyaratkan. Masih ditambah lagi dengan kondisi kendaraan angkutan umum yang asal bisa jalan, berhenti di sembarang tempat dan perilaku sopir ugal-ugalan. Tindakan tegas terhadap pelanggaran itu tak bisa dijalankan, karena mungkin aparat sudah terperangkap “moral bejat” di bidang keuangan.

Kita sangat miris membaca berita pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi Universitas Bina Nusantara, Livai Paviota Soelistio (21), tanggal 16 Agustus lalu. Korban ditemukan tewas setelah diperkosa oleh kawanan sopir angkot. Tempat Kejadian Perkara diduga dari tempat kuliahnya sekitar Puri Kembangan, Kebonjeruk, Jakarta Barat, tapi mayatnya dibuang ke daerah Cisauk, Kabupaten Tangerang.

Korban lainnya, seorang karyawati RS (27) yang diperkosa dalam angkot jurusan Ciputat- Pondok Labu tanggal 1 September lalu, yang dibawa berputar-putar di sekitar JalanTB Simatupang hingga ke Cilandak, Jakarta Selatan. Tiga orang pelakunya sudah diutangkap di Bukitinggi, Sumbar. Bahkan, sebelumnya pun pelecehan seksual sempat heboh terjadi di angkutan busway Transjakarta, walaupun dilengkapi petugas keamanan. Moral bejat memang sudah menyebar ke mana-mana.

Fauzi Bowo Kena Hujat

Menggapi kasus perkosaan ini, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sempat terpeleset omong, seolah-olah menyalahkan orang yang naik mikrolet dengan duduk pakai rok mini. Atas ucapan ini ia pantas ia terkena hujat “Jangan salahkan bajuku. Salahkan pemerkosa,” bunyi spanduk kaum wanita Jakarta memprotes Fauzi di Bundaran HI. Padahal, gubernur yang lama kuliah di Jerman ini, menyaksikan lebih seksi lagi pakaian wanita di sana, tapi tidak marak perkosaan.

Sesungguhnya tugas Gubernur Fauzi haruslah membenahi angkutan umum yang aman dan berupaya meniru angkutan umum di kota lain, seperti di kota Bangkok yang aman dari kejahatan. Selain melengkapi lampu penerangan jalan yang cukup terang–benderang di seluruh kota, di berbagai tempat strategis juga harus dipasang jaringan kamera pengintai (CCTV). Jaringan CCTV yang akan dibangun Polda Metro Jaya di persimpangan jalan, jangan hanya untuk mengintai kendaraan yang melanggar lampu lalu lintas dan marka jalan, tetapi paling utama untuk memantau kejahatan.

Menurut sebuah sumber, Gubernur Bangkok MR Sukhumbhand Paribatra pada tahun 2012 nanti akan memasang 20.000 CCTV di seluruh kota Bangkok dan akan menambah 50.000 lampu penerangan jalan. Bisakah Jakarta menirunya? Selama ini angkutan massal di kota Bangkok, seperti kereta layang (monorel) maupun kereta bawah tanahnya, dijamin aman dan nyaman, dilengkapi dengan tombol telepon darurat bila terjadi kejahatan, serta setiap stasiunnya dipasang CCTV. Inilah yang diurusi Gubernur, bukan pakaian rok mini. ***

CATEGORIES
TAGS
NEWER POST
OLDER POST

COMMENTS