Pelantikan Pejabat, Sederhana Saja

Loading

Oleh: Enderson Tambunan

Ilustrasi

Ilustrasi

BEBERAPA hari sebelum memukul gong pada malam old and new (2012-2013) di Bundaran Hotel Indonesia, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo kembali mencetak ”hit”, yakni melantik pejabat di lapangan bola di salah satu perkampungan padat penduduk. Itu menjadi berita anyar dan menarik, karena belum pernah pelantikan pejabat berlangsung di lapangan bola di tengah permukiman penduduk Biasanya, pelantikan pejabat berlangsung di aula atau halaman gedung pemerintahan, semisal balaikota atau pendopo.

Yang dilantik Jokowi, panggilan akrab Gubernur DKI Jakarta itu, pimpinan wilayah kota, tepatnya Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jakarta Timur, HR Krisdianto dan Husein Murad. Lokasi acara, lapangan bola RW 05, Pulo Jahe, Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung.

Maka, acara pelantikan, Kamis (20/12/2012), itu, diberitakan secara luas oleh media massa nasional. Inti pemberitaan tentu berkisar pada lokasi pelantikan dengan latar belakang permukiman. Di atas panggung sederhana, Jokowi melantik wali kota dan wakilnya, disaksikan sejumlah pejabat dan rakyat banyak.

Mengenai pemilihan lokasi pelantikan, Jokowi mengatakan, karena di tempat seperti itu banyak permasalahan Ibukota dan semua permasalahan itu harus mendapat perhatian. Menjawab pertanyaan wartawan, Jokowi memberikan jawaban jitu bahwa orientasi pelantikan dititikberatkan pada fungsional, bukan seremonial. Jabatan harus digunakan untuk melayani masyarakat, bukan sekadar berkuasa.

Tak lupa Jokowi menuturkan sejumlah permasalahan yang harus segera diselesaikan di Kampung Pulo Jahe, antara lain, soal mandi cuci kakus (MCK), hidran, drainase, dan penghijauan. Tentu saja Gubernur DKI berharap wali kota dan wakilnya melaksanakan kewajibannya secara optimal dan segera bekerja keras untuk mencari jalan keluar, sehingga kampung-kampung lebih tertata.

Pelantikan pejabat, mulai dari kepala desa hingga presiden merupakan bagian dari mekanisme pelaksanaan pemerintahan di negara kita. Pelantikan dengan inti utama pengambilan atau pengangkatan sumpah jabatan mesti dilaksanakan dan itu amanat undang-undang.

Dalam hal ini, terkait dengan pelantikan pemimpin wilayah, wali kota/bupati dan gubernur masing-masing dengan wakilnya, diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 110 ayat (1) berbunyi: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik.”

Pasal (2) berbunyi, Sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”

Kemudian Pasal 111 ayat (1) menyebutkan “Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden. Ayat (2) berbunyi: “Bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden.” Sedang ayat (3) menyebutkan: “Pelantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD.” Dalam konteks pelantikan wali kota dan wakilnya di wilayah DKI (lima wilayah kota dan satu kabupaten) yang tidak memiliki DPRD, karena wilayah administratif, pelantikan tidak berlangsung pada rapat paripurna DPRD.

Lebih Digalakkan

Perlunya pelantikan dengan biaya kecil sebelumnya dipertegas oleh Jokowi ketika dia bersama wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 15 November 2012.

Kabarnya, Jokowi sendiri yang menghendaki pelantikannya dalam suasana sederhana tanpa mengurangi nilai penting pelantikan sebagai saat mengangkat sumpah/janji. Dan tak lama kemudian diikuti dengan pelantikan wali kota dan wakil wali kota Jakarta Timur di lapangan bola.

Bertitik tolak dari itu, upaya menyederhanakan dengan menghemat biaya pelantikan pejabat pemerintahan sudah tepat lebih digalakkan lagi. Terutama pelantikan kepala daerah, baik tingkat I (provinsi) maupun tingkat II (kabupaten/kota). Keinginan mengurangi biaya seremonial itu sebaiknya “diwabahkan” secara nasional secara konsisten dan kontinyu, bukan hanya di daerah tertentu.

Apalagi, bila tetap dapat dijaga bahwa suasana sederhana itu tidak akan mengurangi arti dari pelantikan, yang diwujudkan dalam bentuk pengangkatan sumpah/janji pemimpin yang baru mendapat legitimasi dari rakyat dan pejabat yang lebih tinggi.

Negara kita lagi berperang melawan korupsi, sebagai salah satu langkah meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak . Langkah lain, dalam bentuk penghematan di segala bidang, tentu akan memberikan nuansa lebih cerah pada upaya peningkatan kesejahteraan. Itu sebabnya, langkah menyederhanakan suasana pelantikan pejabat sebaiknya dilanjutkan di setiap lembaga pemerintahan.

Misalnya, menyangkut lokasi upacara. Daalam hal ini, setiap perkantoran pemerintah punya aula yang dapat dimanfaatkan untuk lokasi pelantikan, sehingga tidak perlu disiapkan lokasi khusus. Jumlah undangan pun sebaiknya dibatasi, supaya tidak sampai mengurangi irama kerja.

Acaranya singkat saja, agar tidak menyita banyak waktu. Dengan demikian, si pejabat baru dapat langsung bekerja pada hari itu juga. Minimal membolak-balik buku memori pejabat lama supaya segera dapat diketahui apa program yang amat mendesak dilaksanakan.

Pada akhirnya, buah dari pelantikan itu adalah hasil maksimal kepemimpinan untuk kesejahteraan masyarakat dan peningkatan daya saing lembaga dan atau daerah. Pencapaian tujuan itu yang patut “dilombakan” agar setiap pemimpin dan yang dipimpin punya semangat tinggi mencapai hasil yang membanggakan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS