Wewenang dan Tanggung Jawab
Oleh: Fauzi Azis
DALAM organisasasi pemerintahan dan lembaga tinggi negara maupun dalam kelembagaan organisasi yang lain, kedua istilah tersebut di atas sudah sangat familiar. Wewenang didapat oleh seseorang di dalam suatu organisasi karena jabatannya. Sedangkan tanggung jawab adalah suatu bentuk obligasi dari seseorang yang memiliki kewenangan karena jabatannya.
Kenapa wewenang dan tanggung jawab dipadankan kedudukannya. Salah satu jawabannya karena setiap keputusan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang, dapat bersifat mengikat (mandatory) dan si empunya kewenangan sekaligus dalam waktu bersamaan melekat sebuah tanggung jawab bahwa apa yang telah diputuskannya dapat dijamin keabsahannya secara hukum formal. Pada sisi yang lain dapat pula menjadi acuan bagi pengambilan keputusan lebih lanjut oleh pejabat pada level di bawahnya atau bahkan sebagai dasar untuk pelaksanaan eksekusi di lapangan.
Contoh paling mudah mengenai wewenang adalah seorang lurah menerbitkan KTP sedangkan contoh tanggung jawab adalah karena tanda tangan pak lurah ada di dalam KTP tersebut, maka pak lurah mempunyai tanggung jawab atas keabsahan KTP bersangkutan. Itulah contoh paling mudah tentang perbedaan antara wewenang dan tanggung jawab.
Dalam prakteknya sehari-hari, kejadiannya tidak selalu demikian. Adakalanya orang hanya mau wewenangnya saja karena mungkin dia berfikir dengan kewenangan yang dimiliki, dia bisa melakukan apa saja sesuai kewenangannya, tanpa pernah berfikir tentang tanggung jawab. Tipe seperti ini, orang awam sering menyebutnya sewenang-wenang dan perilaku yang demikian seringkali menjerumuskan kepada tindakan yang koruptif karena kepentingan dirinya sendiri dan tanggung jawab urusan belakangan.
Pada situasi lain, pemegang wewenang enggan atau bahkan menolak bertanggung jawab atas tindakan yang diambil, karena kewenangan yang dimilikinya dintervensi oleh kepentingan lain yang sesungguhnya jauh dari kewenangannya yang dimilikinya.
Manakala terjadi problem yang merugikan masyarakat luas, maka yang bersangkutan pasti tidak mau bertanggung jawab sendiri atas kejadian tersebut dan berupaya untuk menarik pihak lain ikut bertanggung jawab. Tipe yang ini juga rawan dengan perilaku koruptif (masyarakat sering sebut perilaku koruptif berjamaah).
Yang paling ideal tentu bila seseorang mendapat kewenangan karena jabatannya, maka pada saat bersamaan yang bersangkutan harus berjanji dan berikrar dengan sepenuh hati bahwa di balik kewenangan tersebut melekat sebuah tanggung jawab, baik kepada dirinya sendiri, kepada keluarganya, kepada kantor/lembaga di mana seseorang bekerja, tanggung jawab kepada hukum dan etika dan tanggung jawab kepada Tuhan.
Pelajaran yang paling berharga dari topik tentang wewenang dan tanggung jawab ini ada beberapa catatan yang patut kita hayati bersama :
1) Kalau dilakukan pembobotan, wewenang sesungguhnya lebih ringan bobotnya daripada tanggung jawab karena seseorang memiliki naluri gemar akan kekuasaan atau kewenangan, tetapi begitu kewenangan dikaitkan dengan soal tanggung jawab, maka paling tidak hati kecilnya akan mengatakan berat atas wewenang yang dimilikinya, padahal sejatinya yang membuat berat itu adalah tanggung jawabnya, bukan kewenangannya.
2) Dewasa ini di bidang perpolitikan di negeri ini yang dikejar seseorang adalah kekuasaan dan kewenangan. Ketika kekuasaan telah diraihnya, soal yang berhubungan dengan tanggung jawab tidak pernah terpikirkan atau bahkan diungkapkan sebagai suatu niat yang tulus. Inilah salah satu penyebab kenapa perilaku koruptif tumbuh subur dan virusnya menyebar ke mana-mana.
3) Mengemban kewenangan saja barangkali hanya membutuhkan kecakapan dan ketrampilan akademis saja, tetapi begitu wewenang dipadankan dengan tanggung jawab, maka kecakapan dan keterampilan akademis saja tidak cukup dan mesti dilengkapi dengan kecakapan dan ketrampilan di bidang etika dan moral, bidang agama dan kepercayaan, bidang hukum dan filsafat yang pendek kata dapat memberikan bekal bagi pemangku kewenangan lebih hati-hati dan bijaksana dalam pola pikir dan pola tindaknya. Ada semacam katup pengaman bagi para pemangku kewenangan dalam menjalankan tugasnya.
4) Diklat bagi para pemangku kewenangan barangkali perlu dirancang modul secara khusus untuk mendidik dan mempersiapkan para calon pemangku kewenangan bagaimana cara memikul dan merespon tanggung jawab (dalam teori dan praktek), bukan hanya cara melaksanakan kewenangan saja. Diklat semacam ini tidak cukup sekali dilaksanakan tetapi harus berulang karena fungsinya sebagai charger.
5) Sikap yang paling baik dan pendidikan yang paling baik bagi kita semua adalah bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menjadi insan yang bertanggung jawab apapun kewenangan yang dimilikinya, sebab kalau tidak kita hanya akan menyandang gelar orang yang tidak bertangung jawab alias munafik. Bertanggung jawab kepada sesama dan bertanggung jawab kepada Tuhan. ***