Pelanggaran HAM Berat 47 Tahun Silam Bakal Diusut
Oleh: Marto Tobing
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wapres Boediono, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hendarman Supandji dan Jaksa Agung Basrief Arief memberikan keterangan pers usai rapat kabinet terbatas bidang Polhukam di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) Jakarta Rabu (25/7).
Selain soal kinerja pemberantasan korupsi, rapat tersebut juga fokus pada bahasan sembilan soal pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966. Dalam catatan sejarah, pada tahun 1965-1966 terjadi pergolakan politik nasional yang sangat dahsyat dikenal dengan Gerakan 30 September 1965.
Kala itu revolusi berdarah digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama antek-anteknya. Dibawah kepemimpinan Ketua Central Comite (CC) PKI Aidit, Indonesia sebagai negara Pancasila diberontak untuk merubahnya menjadi negara komunis dan gagal. Saat itulah terjadi pembantaian kemanusiaan.
Namun dalam rapat kabinet terbatas itu, Presiden tidak dalam paparannya secara spesifik dan rinci. Dibidang HAM ini, Presiden hanya menginstruksikan agar Kejaksaan Agung menindak lanjuti kesimpulan Komnas HAM bahwa ada cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966 berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan dan penghilangan orang secara paksa. “Apa yang disampaikan Komnas HAM itu tentu akan dipelajari oleh Jaksa Agung.
Pada saatnya nanti, karena ini menyangkut masa lalu, saya juga berharap bisa berkonsultasi dengan lembaga negara lain, seperti DPR, DPD, MPR, MA dan semua pihak,” kata Presiden. Presiden menjelaskan pemerintah tak ingin memiliki utang sejarah pada rakyat Indonesia.
Negara memiliki kewajiban moral dan visi politik untuk menyelesaikan semua kasus yang terjadi di Indobnesia dengan seadil-adilnya dan setepat-tepatnya terlebih kasus pelanggaran HAM berat. Namun, Presiden tidak mengolaborasinya secara gamblang instruksinya kepada Jaksa Agung. Presiden hanya mengatakan ada banyak cara untuk menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM. “Saya mempelajari negara-negara lain seperti Afrika Selatan, Kamboija dan Bosnia.
Ternyata modelnya berbeda-beda. Solusinya beda-beda walau pun ada solusi yang bisa diterima oleh semua pihak,” kata Presiden. Sebelumnya Jaksa Agung mengatakan, dibutuhkan pengadilan HAM ad hoc untuk menyidik kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, termasuk pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966. Pengadilan ad hoc diperlukan untuk meminta izin melalukan penggeledahan, penyitaan dan upaya paksa selama proses penyidikan.
Sial penegakan hukum dan pemberantasan koruposi, untuk kesekian kali Presiden menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan tanpa pandang bulu. Upaya pemberantasan korupsi juga harus dilakukan secara berkesinambungan dan dilaksanakan oleh semua pihak. “Seluruh pejabat negara bukan hanya pemerintah, harus mencegah korupsi.
Pada saat penyimpangan terjadi penegakan hukum juga harus berjalan dengan baik,’ pesan Presiden. Dipesankan agar semua pihak yang termasuk ke dalam sistem hukum harus bekerja keras. Keberhasilan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi merupakan prestasi semua pihak. Namun Presiden mengakui masih banyak kelemahan yang harus dibenahi. “Saya berharap semua simpul bergerak dan bekerja tetap tegas dan tidak pandang bulu, apapun jabatannya dari parpol mana pun,” tandasnya.
Dalam rakor bidang hukum itu, bahasan berfokus pada tiga hal tersebut. Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BPN diberi waktu untuk melaporkan capaian dan evaluasi masing-masing. Menurut Presiden masalah pertahanan menjadi persoalan pelik. Hampir tiap minggu ada surat dan SMS masuk mengadukan persoalan tumpang tindih lahan hingga sengketa hukum atas lahan tanah.
“Serhingga sering terjadi benturan di lapangan. Agar tugas polisi tidak berlipat ganda dari hulunya harus diluruskan dengan segala upaya. Konsultasi, koordinasi antara BPN dan lain-lain juga harus dilaksanakan dengan baik,” sarannya. Dalam pendangan Presiden setidaknya ada lima area rawan korupsi di Indonesia. Lima area rawan itu adalah korupsi yang merugikan APBN dan APBD, penggelembungan atau mark up, pengadaan barang dan jasa, kasus yang berkaitan dengan perpajakan, kepabeanan dan cukai serta sektor migas.
Terhadap lima area yang dinilai rawan korupsi itu Presiden meminta jajaran penegak hukum termasuk Polri, Kejagung dan KPK untuk mencati solusinya. Terhadap lima area dimaksud, institusi penegak hukum diminta melakukan penindakan tanpa harus berebut polaritas. ***