Musim Kemarau Mulai Merepotkan Warga

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Walaupun Kementerian Pertanian mengatakan, bahwa kemarau mulai Juli lalu belum menggangu pangan, namun penduduk di Jakarta sudah kerepotan mengalami kemarau tersebut. Nikson Panjiatan, warga RT 3/05, Cawang, Jakarta Timur dan sekitarnya, sudah bergadang lebih dari dua minggu untuk memperoleh tetesan air dari pompanya.

“Minimal saya tiga jam mulai dari pukul 00.00 harus bergadang untuk memperoleh satu dua ember setiap hari. Namun sampai sekarang belum ada perhatian dari Pemprov DKI untuk memperhatikan masyarakat yang kekuarangan air di tempat kami, akibat kemarau yang berkepanjangan,” katanya kepada tubasmedia.com di Jakarta, baru-baru ini.

Akibat bergadang setiap malam, selain jam kerjanya sering terganggu, juga harus menambah uang ekstra untuk mencuci pakaian karena terpaksa diberikan ke tukang cuci. “Ini memang sudah penyakit tahunan di Indonesia, tetapi sampai sekarang belum ada yang penanggulangan dari pihak pemerintah,” katanya.

Berhubung hal ini sudah menjadi penyakit tahunan, sebaiknya pemerintah melakukan penaggulangan secara permanen, agar hidup masyarakat di DKI Jakarta tidak terganggu. “Inilah imbauan saya kepada pemerintah. Sebab hal ini tidak sulit diatasi bila memang ada perhatian dari pihak penguasa,” kata ayah dari tiga orang anak ini.

Selain Jakarta, kekeringan sudah melanda sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Sejumlah waduk air mulai menyusut, sementara sumber-sumber air bersih juga mulai kering. Namun sebaliknya, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi masih sering diguyur hujan, bahkan terjadi banjir.

Sementara itu, menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi dan Geofisika, Mezak Arnold Ratag, kondisi itu disebabkan anomali iklim berupa kenaikan suhu 1-1,5 derajat Celsius di utara Afrika dari suhu rata-rata 27-28 derajat Celsius. Akibatnya, massa udara kering dari Australia bergerak ke utara Afrika, sehingga memperparah kekeringan di wilayah selatan ekuator, termasuk di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah selatan Sumatera.

Selanjutnya dari hasil pemantauan, cadangan air di Waduk Sempor, Kebumen, Jawa Tengah, terus menyusut. Saat ini cadangan air di waduk tersebut kurang dari 18 juta meter kubik atau hanya dapat memenuhi kebutuhan pengairan lahan sawah untuk 50 hari.

Kondisi Waduk Cirata di Cianjur, Jawa Barat, juga tak jauh berbeda. Ketinggian air saat ini menyusut dari 217 meter di atas permukaan laut (mdpl) menjadi 214,98 mdpl. Debit air yang masuk ke waduk juga berkurang, dari yang normalnya 203 meter kubik per detik (m/dtk) menjadi 158 m/dtk. Ini terjadi karena pasokan air dari Waduk Saguling di Kabupaten Bandung dan subdaerah aliran sungai lainnya, berkurang. Pasokan air ke Waduk Saguling saat ini juga berkurang, dari 250 m/dtk menjadi 5 m/dtk.

Di Jawa Tengah, berkurangnya pasokan air dari Waduk Sempor, tampaknya tidak begitu mengkhawatirkan, karena pasokan dari Waduk Wadaslintang di Kabupaten Wonosobo masih cukup, terutama untuk wilayah Kebumen bagian timur.

Kepala Divisi Jasa Air Sumber Air Bengawan Solo pada Perum Jasa Tirta I Suwartono juga menegaskan, hingga kini pasokan air dari Waduk Gajah Mungkur masih aman, baik untuk pertanian, maupun untuk pembangkit listrik.

Di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, lebih dari 8.000 hektar sawah tadah hujan kini dilanda kekeringan. Di Desa Kwadungan, Kecamatan Kwadungan, para petani terpaksa membeli air dari penjaga fasilitas sumur pompa dalam.

Para petani yang lahan sawahnya terhubung dengan saluran irigasi utama, terpkasa menggunakan sistem antre air. Petani yang memiliki lahan sawah tadah hujan tidak mendapatkan air dari fasilitas pengairan dari Waduk Notopuro. Sementara itu, di Desa Kawengen, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, sekitar 100 hektar sawah terancam puso, karena tidak cukup terairi. (aru)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS