Menginternasionalisasi Indonesia Sangat Terbuka

Loading

Indonesia Pusaka

Oleh: Fauzi Aziz

FENOMENA politik, ekonomi dan budaya bangsa sedang bertransformasi sejak reformasi tahun 1998 terjadi. Indonesia sejak saat itu resmi menjadi negara demokrasi liberal dan sekaligus melaksanakan sistem ekonomi liberal secara de facto. Indonesia sudah menjadi sangat terbuka dan membuka diri menjadi nation state yang murni liberal sehingga pintu masuk untuk menginternasionalisasi Indonesia sifatnya sangat terbuka.

Padahal para pendiri bangsa ini yang disemangati dalam konstitusi merancang satu arsitektur untuk “Meng-Indonesiakan Indonesia” agar menjadi bangsa yang mandiri, teguh pendirian dan mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan diharapkan menjadi negara yang berpengaruh di kawasan dan global.

Namun dalam perjalanan waktu, justru Indonesia menjadi negara yang berada di bawah pengaruh internasional, baik dari blok barat dan blok timur yang kini dikomandani Tiongkok dan AS di bagian barat. Bagi AS, oleh Presiden Nixon kala itu dikatakan Indonesia adalah ibarat real estate dunia, yang kekayaan sumber daya alamnya tidak boleh jatuh ke tangan Tiongkok maupun Uni Soviet.

Kini Uni Soviet telah tiada dan yang ada  pecahannya saja, dimana Rusia adalah salah satunya. Petanya hingga kini tidak berubah dan Indonesia dalam semangat “menginternasionalisasikan Indonesia” menerima kedatangan mereka sebagai investor dan para pemain bisnis di Indonesia. Cara yang dilakukan dengan menggelar karpet merah investasi asing, yang difasilitasi dengan progam deregulasi yang masif.

Internasionalisasi Indonesia sepertinya yang lebih menjadi keniscayaan daripada meng-Indonesiakan Indonesia sebagai keniscayaan seperti dikehendaki konstitusi. Pilihan ini menjadi penting dan kita sebagai nation state harus memilih “meng-Indone siakan Indonesia” karena konstitusional. Apakah lantas “Inter nasionalisasi Indonesia” bisa berpotensi dianggap tidak konstitusional.

Kalau di dalamnya ada unsur-unsur yang bersifat intervensi dan invasi, baik politik, ekonomi dan budaya yang dilakukan negara lain, maka tindakan tersebut menjadi berpotensi melanggar konstitusi. Karena kita sudah sepakat untuk membebaskan segala bentuk penjajahan terjadi di bumi pertiwi. Merdeka dan berdaulat penuh adalah keputusan politik bangsa dan negara bersifat final dan mengikat bagi seluruh komponen bangsa sehingga segala macam bentuk “Internasionalisasi Indonesia” harus dicegah.

Pertanyaannya lantas bagaimana dengan meliberalisasi masuknya modal asing ke Indonesia apakah inkonstitusional. Jawabannya ‘’ya’’ karena itu, MK melakukan yudicial review terhadap UU tentang Penanaman Modal karena dinilai liberal. Begitu pula dilakukan tindakan yang sama terhadap UU Migas yang telah dibatalkan oleh MK karena dianggap tidak sesuai dengan konstitusi.

Pemerintah dan DPR sekarang atau rezim kapanpun kelak perlu memahami konstelasi ini, apalagi kabinet yang sekarang janji politiknya adalah akan melaksanakan Trisaktinya Bung Karno. Indonesia tidak boleh berada di persimpangan jalan dalam menjalankan politik dan idiologi ekonomi.

Dan ini adalah pekerjaan utama elit bangsa di negeri ini yang kini sebagian berada di pemerintahan dan lembaga tinggi negara seperti MPR, DPR dan DPD. Jangan ragu menata ulang haluan politik ekonomi Indonesia untuk menjaga agar negeri ini tidak “terjajah kembali”. Peran asing harus ditegaskan secara eksplisit dan implisit dalam arah politik ekonomi kedepan.

Intervensi dan invansi kadangkala sumir ketika Indonesia telah menjalankan demokrasi liberal dan sistem ekonomi liberal karena intervensi dan invansi bisa berselimut di balik isu globalisasi, demokratisasi dan digitalisasi. Dampak positif dan negatifnya sudah terlihat kasat mata ketika Indonesia masuk dalam jaringan globalisasi, demokratisasi dan digitalisasi “at all cost” karena Indonesia menginginkan ekonominya dapat tumbuh mengesankan. (penulis adalah pemerhati masalah industri dan ekonomi).

CATEGORIES
TAGS