Maukah Kita Belajar dari Banjir?

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi

Ilustrasi

SEMUA pihak tau kalau banjir bandang yang melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya yang terjadi sejak pertengahan Januari 2013, selain menelan korban jiwa, juga telah menimbulkan kerugian serta kerusakan pada banyak sektor, baik materil maupun nonmateril.

Data yang diperoleh redaksi, korban jiwa hingga 23 Januari 2013 tercatat 20 orang meninggal dunia karena hanyut ke sungai dan disebab faktor tidak langsung seperti kesetrum listrik, sakit karena lanjut usia, kekurangan oksigen karena menghirup gas karbon monoksida dari genset di ruangan tertutup dan sebagainya.

Belum lagi puluhan ribu jiwa terdiri dari bayi hingga orang tua yang mengungsi karena rumah mereka tenggelam oleh banjir. Sudah pasti di pengungsian mereka menderita, sehebat apapun mutu bantuan yang mereka terima, baik dari pemerintah maupun swasta. Soal sepele saja, tempat pembuangan hajat dari puluhan ribu jiwa itu sudah pasti jadi soal dan pasti pula menimbulkan penyakit.

Apapun penyebab dari banjir, apakah itu akibat meluapnya sejumlah waduk dan jebolnya tanggul Banjir Kanal Barat (BKB) di Jl. Latuharhary, namun semua pihak harus mau belajar dan belajar dari kegagalan. Tupai saja tidak mau jatuh dua kali ke lobang yang sama. Tapi banjir di Jakarta yang terjadi setiap tahun, koq tidak pernah bisa ditemukan penangkalnya.

Kita menjadi heran, apa hasil kunjungan sejumlah pejabat ke korban-korban banjir saat banjir melanda Jakarta. Apakah hanya pencitraan saja ? atau hanya ingin kampanye ? Pertanyaan ini muncul akibat tidak pernah ada jalan keluar mencegah banjir.

Yang ada kita lihat adalah para pejabat beserta isteri yang tampil di tempat pengungsian lengkap dengan pakaian glamour dan bau parfum yang menyengat atau adanya seorang pejabat berpose di tempat banjir sambil menenteng sebuah payung.

Berkunjung memang penting. Tapi yang terpenting adalah menyelesaiakn masalah sebab pasti ada pelajaran yang berharga dari banjir Jakarta yang sudah berulang ulang. Tapi kenapa penyelesaiannya selalu tidak ada. Anehnya yang kita dengar hanyalah perdebatan para pakar dan pidato para pejabat, setelah itu tidak ada tindakan.

Bicara soal penyebab, rasanya tidak etis kalau hanya menuduh curah hujan. Faktor hujan memang tidak bisa dihindari karena saat musim hujan pasti curahan hujan tinggi. Curahan hujan tak mungkin dihentikan, sehingga yang harus dipelajari bagaimana kondisi tata ruang dan membenahi perilaku masyarakat.

Berdasarkan pengamatan beberapa masalah utama terkait perilaku buruk dari masyarakat, yaitu terjadinya perubahan tata guna lahan di kawasan resapan air di kawasan Puncak G Pangrango yang awalnya hutan diubah menjadi kawasan terbangun. Akibatnya air hujan tidak ada yang meresap tapi semuanya mengalir menjadi air yang akan mengerosi tanah dan mengendapkannya ke sungai sehingga sungai akan dangkal.

Masalah lain banyaknya penduduk bermukim di bantaran sungai. Akibatnya lebar sungai menyempit dan terus menyempit. Demikian pula masalah perilaku buang sampah sembarangan ke seumlah kali seperti sampah kasur, sofa, lemari, bantal, stereofoam, plastik dan sebagainya.

Yang aneh, masyarakat yang berperilaku buruk itu terdiri dari para pejabat sampai masyarakat, dari birokrat sampai teknokrat, dari profesor sampai provokator dan dari konglomerat sampai yang melarat. Intinya semua level itu, baik yang educated maupun yang uneducated sama-sama melakukan tindakan buruk itu secara sadar.

Padahal, kalau mau mencontoh, lihat itu Singapura, sehebat apapun curah hujan, kota itu tidak akan banjir bahkan genangan airpun hampir tidak ada. Kenapa ? Selain tata kotanya bagus, masyarakatnya-pun taat aturan, tidak membuang sampah sembarangan. Membuang korek api-pun tidak bisa sembarangan.

Karenanya, pemerintah Jakarta rasanya jangan lagi hanya melakukan tindakan parsial seperti melakukan pengerukan sungai dan pembersihan sampah, namun sudah harus tindakan permanen. Mernangani banjir tidak sama dengan menangani kebakaran. Artinya, pemerintah jangan tampil hanya sebagai petugas pemadam kebakaran.

Akan tetapi komitmen pemerintah dan semua pihak sangat dibutuhkan untuk membuat kebijakan yang bisa diterima semua pihak sehingga masyarakat dan pemerintah yang selama ini mengubah kawasan resapan air mau mengubah sikapnya. Demikian juga masyarakat, tidak membuang sampah di sungai. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS