Konflik Agraria yang Memilukan

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

SAMPAI hari ini, kita terus disuguhi peristiwa sosial yang terkait dengan konflik agraria di berbagai daerah. Sebagai awam, tentu tidak tahu persis tentang latar belakang terjadinya konflik tersebut. Di setiap konflik, terkesan rakyat selalu di pihak yang dirugikan. Sementara itu, pemerintah atau penegak hukum cenderung melindungi kepentingan pemodal.

Inilah sosok peristiwa yang selalu melahirkan persoalan. Reformasi agraria pernah dicanangkan, tetapi tampaknya baru sebatas slogan. Baik pemerintah maupun parlemen kelihatannya mengambil posisi wait and see. Seharusnya siapa pun, baik pemerintah maupun parlemen berhak mengambil prakarsa dan bersikap see and do untuk melaksanakan reformasi agraria agar bisa mengatasi problem pertanahan yang akhir-akhir ini, tanda-tandanya konflik demi konflik, malah terus berulang terjadi tanpa penyelesaian yang tuntas.

Ibarat api dalam sekam, konflik agraria ini hanya padam sementara. Atas nama pembangunan memang diperlukan luasan lahan tertentu dalam jumlah yang besar untuk membangun infrastruktur, jalan tol, kawasan industri, pembangunan permukiman dan kebutuhan yang lain.

Tetapi, pada lain pihak, lahan yang harus dibebaskan masih dikuasai rakyat atas nama girik, tanah adat, tanah ulayat, warisan yang sudah turun temurun, dan pemilikan dengan cara lain. Dalam keadaan saling membutuhkan, posisi mereka berhadap-hadapan langsung, atau head to head, antara rakyat dan pemodal.

Melalui perburuan rente, pemodal mendapatkan posisi kuat untuk mendapatkan lahan yang diingingkan dengan sogok dan suap yang nilainya tidak kecil. RTRW pun bisa dikutak-katik demi kepentingan pemodal kuat. Kalangan bupati imannya gampang digoyah karena rupiah. Rela melanggar sumpah dan janji sewaktu dilantik menjadi pejabat daerah, bahkan secara sadar berani melanggar aturan.

Tidak hanya itu, tekanan dari pejabat pusat pun datang bertubi-tubi, bahkan pakai mengancam-ancam segala. Ini yang terjadi di Sei Mangke, di mana Gubernur Sumut dan Bupati Simalungun tidak berani mengeluarkan izin penggunaan lahan karena daerah tersebut RTRW-nya belum ada. Masalah lahan memang menjadi pelik dan ruwet.

Kewajiban Rakyat

Keruwetan tersebut terjadi karena asas-asas pengelolaan lahan yang baik tidak dipatuhi. Hak kepemilikan atas tanah tidak lagi bersifat mutlak. Pembangunan dengan keterlibatan pemerintah, sepanjang prosesnya telah menyebabkan pemilikan hak atas tanah lebih cenderung ke faktanya sebagai kewajiban rakyat untuk membantu usaha pembangunan dengan melepaskan lahannya setiap saat demi pembangunan.

Rakyat tidak semuanya memahami konstelasi yang terjadi tentang soal tataguna tanah di era pembangunan dewasa ini. Fungsi sosial tanah sebagaimana konsepnya pada masa lalu telah mengalami pergeseran/perubahan. Pergeseran ini telah melahirkan paradigma baru, yaitu hak milik atas tanah telah berubah menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi.

Konsekuensinya adalah nilai ekonomi sebidang lahan menjadi sangat berarti dan fungsi tanah telah berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan dan adakalanya digunakan sebagai alat spekulasi oleh orang-orang yang sangat berkepentingan. Fenomena ini yang sekarang menimbulkan masalah dan melahirkan konflik demi konflik agraria di berbagai tempat.

Rakyat mengambil posisi dan sikap bahwa mereka merasa dizalimi, dieksploitasi dan merasa dirugikan kepentingannya. Meskipun proses pembebasan lahan selalu dilakukan dengan musyawarah, tetapi tidak selalu menghasilkan kemufakatan, khususnya yang berkaitan dengan harganya.

Situasi ini diperburuk adanya unsur aparatur pemerintah dan penegak hukum yang posisinya tidak selamanya netral. Kecenderungan yang sering terjadi adalah mereka memihak kepada para pemodal dan rakyat merasa tidak diuntungkan. Lebih-lebih kalau suasana perburuan rente sangat terasa dalam proses pengadaan lahan tersebut, sejak proses perizinan, proses pembebasan lahan dan proses pengamanan lahannya.

Mengutip pendapat Prof Dr Yusriadi SH, MS dalam bukunya Industrialisasi & Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah menyampaikan bahwa sekalipun teks UUPA 1960 tidak berubah atau diubah, namun konteks-konteksnya telah berubah. Melalui prespektif sosio-yuridis menggambarkan bahwa fungsi sosial hak milik atas tanah telah berubah, dari apa yang secara ideologik dikehendaki (das sollen) ke fungsinya yang lain di luar tidak dikendaki (das sein).

Menjadi semakin mengerti kalau presiden pernah mencanangkan bahwa saatnya perlu dilakukan reformasi agraria. Sayangnya, pikiran itu hingga kini tidak jelas juntrungannya dan harap maklum kalau kemudian konflik agraria terus terjadi dan keadaannya sangat memilukan, karena di setiap konflik yang terjadi seringkali jatuh korban di pihak rakyat.

Semoga bagi capres 2014 masalah reformasi agraria ini menjadi salah satu agenda penting yang harus bisa diselesaikan. Menunda berarti membiarkan konflik tetap berpotensi terus terjadi. Tidak kalah penting adalah menyelesaikan soal RTRW baik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS