Kerangka Kerja Integratif dalam Industrialisasi Diperlukan
Oleh: Fauzi Aziz
SEDARI awal, para ahli ekonomi dan teknik industri menyampaikan bahwa melaksanakan pembangunan industri tak ubahnya dengan menjalankan dan mengelola sistem industri. Sebagai satu sistem, berarti pada dirinya terdapat sub-sub sistem yang ikut bekerja agar industrialisasi ketika bertransformasi ke dalam pabrik atau usaha industri, sistem industri dapat bekerja secara optimal.
Sebab itu, kerangka kerja integratif dalam industrialisasi sangat diperlukan. Kerangka kerja interatif hakekatnya merupakan satu sistem. Wujudnya kalau dilihat dari tanggungjawab pemerintah, berarti ada dua hal utama yang harus dikembangkan sistemnya, yakni sistem kebijakan dan pemrograman.
Kebijakan industri adalah merupakan satu sub sistem kebijakan dari sebuah sistem ekonomi. Begitu pula dengan pelaksanaan pembangunan industri, diperlukan progam-program lain yang menyertainya. Misal program pengembangan sumber daya manusia, teknologi dan standar disasi. Ketiga program tersebut disebut sebagai progam utama dilihat dari sistem industri.
Hanya Dalam Rapat
Dalam praktek dan pada kenyataannya, kerangka kerja integratif itu “tidak pernah ada”. Yang ada baru tahap koordinasi dan inipun hanya terjadi dalam rapat-rapat saja. Sinergi masih jauh dari harapan sehingga ketika terjadi pabrik pengolahan ikan banyak yang gulung tikar, hal ini disebabkan karena tidak mendapatkan pasokan bahan baku akibat tidak sinergi antar sektor, padahal negeri ini adalah negara maritim.
Fenomena ini terjadi dan terus berlangsung karena pemerintah “tidak mempunyai” kerangka kerja yang bersifat integratif”. Akibatnya sudah dapat diperkirakan banyak rencana gagal dieksekusi di lapangan. Kalau pun bisa dieksekusi, biayanya pasti mahal karena hampir seluruh biaya investasi dan biaya operasinya harus dipikul sendiri oleh para pengembang.
Dalam kaitan ini, meskipun pemerintah telah memiliki RIPIN dan KIN, dalam rangka implementasinya diperlukan kerangka kerja integratif di masing-masing sektor prioritas. Dalam RIPIN ada 10 sektor prioritas yang akan dikembangkan industrinya dalam kurun duapuluh tahun ke depan dan tiap lima tahun telah “direncanakan” pembangunan masing- masing sektornya.
RIPIN dan KIN adalah kerangka perencanaan integratif. Masih perlu dieksekusi agar 10 sektor prioritas sebagai sistem industri dapat diimplemantisakan. Untuk keperluan ini, dibutuhkan kerangka kerja integratif yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah. Kerangka kerja integratif disiapkan oleh masing-masing Direktorat Jenderal di lingkungan Kemenperin dan masing-masing bertanggungjawab terhadap sektornya.
Misal, pengembangan industri pangan harus ada kerangka kerja integratifnya dalam kaitan pengaturan, pembinaan dan pengembangannya. Begitu pula sektor-sektor prioritas lainnya. Kerangka kerja integratif masing-masing sektor prioritas tersebut antara lain mencakup:1) lokasi/wilayah kerjanya dimana industrinya akan dibangun.2) Jaminan penyediaan bahan baku, termasuk pengadaan dan distribusinya.3) Pemanfaatan teknologi, baik dari dalam dan luar negeri.4) Sumber pembiayaan untuk investasi dan modal kerja.5) SDM industri sesuai standar kompetensi yang diperlukan.6) Fasilitas infrastruktur yang tersedia dan siap dimanfaatkan.7) Tindakan pengamanan dan penyelematan industry dan tindakan mitigasi yang diperlukan.8) Kerjasama industri.9) Penanganan lingkungan social dan lingkungan hidup.10) Pelayanan perizinan, fasilitas dan kemudahan.11) Perlindungan hukum yang diberikan dalam kaitan HAKI.12) Pemasaran.13) Pengawasan dan pengendalian.
Kerangka kerja ini mutlak dibuat sebagai alat kendali dan akuntabilitas manajemen di tingkat operasional dan sekaligus sebagai alat pertanggungjawaban dalam pelaksanaan fungsi pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri. APBN masing-masing sektor ditiap-tiap Direktorat Jenderal dialokasikan dan didistribusikan berdasarkan kerangka kerja integratif tersebut.
Karena pendekatannya sistem, maka kegiatan yang bersifat bussines us usual dapat dihapuskan. Kerangka kerja integratif ini secara internal dapat dipakai sebagai rencana kerja tahunan yang managable dan controlable. Pandangan ini menegaskan pembangunan industri pada dasarnya harus dilaksanakan secara by design, yakni terencana dengan baik dan terlaksana secara efisien dan efektif. (penulis adalah pemerhati masalah ekonomi dan industri)