Kenapa Manusia Korupsi

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

MANUSIA dilahirkan oleh ibunda dalam keadaan suci dan tidak setitik pun ada noktah dosa yang menempel pada badannya. Sang jabang bayi tentu sangat menyenangkan bagi ayah bundanya, karena setiap anak yang lahir mendatangkan rezeki bagi ayah dan bundanya, bahkan keluarganya.

Dari waktu ke waktu si anak ditimang, disayang, diasuh dan senantiasa didoakan agar menjadi anak yang soleh, patuh, taat dan hormat kepada orang tuanya. Demikian seterusnya doa orang tuanya mengalir tanpa henti dengan penuh pengharapan agar kelak anaknya menjadi orang yang cerdas dan jujur dan setelah dewasa dapat mendarmabaktikan kecerdasannya untuk membangun kehidupannya yang lebih baik.

Ilmu dan keahliannya kelak diharapkan dapat diabdikan bagi kepentingan nusa dan bangsa dan memberikan manfaat bagi orang lain. Begitu kuatnya pengaruh doa dan pendidikan orang tuanya, pada diri si anak pasti akan membentuk kepribadiannya, yaitu pribadi yang luhur, jujur dan bertanggung jawab. Doa dan pendidikan (umum, agama maupun budi pekerti) adalah benteng yang kokoh untuk melindungi dirinya dari segala bentuk godaan untuk berbuat dusta dan salah.

Orang yang taat beragama, rajin beribadah, senang membantu orang lain, berakhlak mulia, senantiasa Tuhan akan selalu menuntunnya di jalan yang benar. Manusia yang berperilaku demikian, memandang bekerja itu adalah ibadah. Ibadah dalam pengertian mengagungkan semangat pengabdian kepada Tuhannya dan mengabdikan demi mensejahterakan manusia yang lain.

Pendek kata, yang dikejar adalah kemuliaan hidup, mulia di sisi Tuhannya dan mulia di sisi kemanusiaan. Harta, tahta dan wanita pendamping, hidupnya adalah hanya titipan Tuhan sang pencipta. Tapi pada sisi lain, harta, tahta dan wanita bisa menjadi pemicu bagi seseorang untuk berbuat salah, melanggar tata susila dan etika serta hukum (hukum agama maupun hukum negara).

Inilah jawabannya kenapa manusia terjebak dalam perilaku yang menyimpang, termasuk melakukan tindakan yang bersifat koruptif. Celakanya, hukum negara belum ditegakkan sepenuhnya, sehingga orang menganggap enteng atas segala tindakan yang dianggap melanggar hukum. Celakanya lagi, lingkungan di mana dia bekerja sudah sangat kumuh dalam arti perilaku korup telah dianggap sebagai suatu tindakan yang lumrah.

Hedonisme dan selera hidup yang konsumtif dan takaran sukses dalam hidup diukur dari aspek penguasaan materi dan kebendaan, membuat suburnya perilaku korup pada diri mausia. Jadi, manusia secara sadar mau melakukan penyebabnya minimal ada tiga faktor yaitu :

1) Tumbuh dari dalam diri manusia sendiri karena tidak berhasil mengendalikan hawa nafsunya.
2) Lingkungan di mana manusia beraktifitas sehari-hari di masyarakat.
3) Norma hukum, moral dan etika yang belum bisa ditegakkan sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada akhirnya, dari tiga faktor tadi, kalau mau disederhanakan maka penyebab terjadinya perilaku menyimpang adalah faktor manusianya sendiri.

Lingkungan, mau buruk atau baik, unsur pembentuk utamanya adalah perilaku manusianya sendiri. Norma hukum, etika menjadi lemah atau dilemahkan karena adanya intervensi manusia. Kalau paradigma menjadi demikian, maka catatan-catatan berikut ini dapat kita jadikan bahan perenungan kita bersama, yang tentunya anda boleh setuju, boleh tidak setuju.

1) Fakta tidak bisa dipungkiri bahwa dunia telah membentuk watak manusia menjadi “gila” kekuasaan, harta, mendewakan nilai-nilai kebendaan menjadi takaran sukses dalam hidupnya. Dampak dari situasi yang demikian, manusia keluar dari koridor fitrah aslinya dan berubah menjadi pemburu (hunter) berdarah dingin terhadap kekuasaan, jabatan, harta at all cost.

Pencipta lingkungan “gila” ini sumber aslinya juga berasal dari perilaku manusia itu sendiri. Jadi ada yang salah dong? Jawabannya ya, karena semua dijadikan “komoditas” dan fungsi-fungsi aslinya dari benda yang dikomoditaskan tersebut sengaja digeser demi kekuasaan, harta dan tahta. Uang dijadikan mata dagangan, tanah dijadikan obyekan, makam dijadikan media bisnis. Siapa aktornya? Pasti manusia dan boleh jadi mereka berkolaborasi dengan setan/iblis.

2) Pengabdian manusia di dunia telah disalahgunakan dan dipergunakan secara salah untuk mengelola kehidupan. Contoh kesalahan ini antara lain, manusia bekerja/berkarya, landasan pacunya bukan untuk beribadah, tapi untuk didedikasikan berburu pangkat, jabatan, kekuasaan, tahta dan harta. Kalau landasan pacunya ibadah, maka pengabdian pasti akan didedikasikan untuk mencari kemuliaan di sisi Tuhan.

Kerangka pikir yang demikian tidak berarti manusia tidak boleh jadi orang kaya atau menjadi seorang pemimpin. Semuanya boleh dan tidak dilarang. Tapi jalan yang ditempuh harus benar dan sesuai dengan koridor ibadah tadi. Manusia harus bisa menempatkan dirinya sebagai manusia biasa yang kedudukannya sama di mata Tuhan dan hukum.

Sebaiknya jangan pernah bermimpi menjadi manusia yang “luar biasa”, menjadi “superman“. Boleh menjadi yang luar biasa, asal sepanjang tujuannya tulus untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Tuhan-nya dan di sisi kemanusiaan. Tidak dilarang menjadi luar biasa sepanjang kecerdasan intelektualnya didedikasikan secara tulus dan ikhlas untuk menghasilkan karya-karya besar dan agung yang dapat memberi manfaat bagi orang lain dan orang kebanyakan.

Lagi-lagi, berkarya dengan semangat ibadah bukan kejar tayang dan menjadi nakhoda kapal keruk, untuk memporakporandakan sisi-sisi kehidupan yang baik, benar dan mulia. Kita semua adalah para pemimpin dan setiap pemimimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Oleh karena itu, kita harus merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan diri untuk menjadi pemimpin yang baik, dapat memberikan suri tauladan yang baik kepada yang dipimpin. Lebih dari itu, sosok seorang pemimpin harus mampu memotivasi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya tentang hakekat hidup yang menghasilkan kemuliaan.

3) Persoalan korupsi adalah masalah kita sendiri, bukan masalah orang lain dan bangsa lain. Mau diselesaikan atau tidak, itu sangat bergantung pada niat kita sendiri dan komitmen kita bersama. Mau ditangani dengan cepat atau mau diperlambat atau bahkan mau dipeti-eskan, sangat tergantung pada kita sendiri. Jadi sangat menggelikan kalau ada yang bilang korupsi tidak mudah diselesaikan dan karena itu, harus dilakukan upaya luar biasa. Soalnya, bukan harus dihukum mati atau dihukum gantung atas seseorang yang terbukti korupsi. Tindakan hukum adalah proses di ujung/di hilir.

Membangun sikap dan kepribadian adalah persoalan di hulu. Karena itu, penanganan di sisi hulu, jauh lebih penting dan ini menyangkut soal pendidikan dalam arti luas yang prosesnya tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Saatnya bagi kita sendiri untuk menggunakan energi positif yang ada di kalbu kita untuk melakukan perubahan pola pikir dan pola tindak sebagai manusia yang fitrahnya suci sejak awal dilahirkan.

Korupsi adalah “kejahatan kemanusiaan” biasa karena manusia keluar dari fitrahnya. Bekerja di bawah kendali radar hawa nafsunya bukan di bawah kontrol ibadahnya. Maka dari itu, mau diselesaikan atau tidak, menjadi sangat tergantung dari para manusia siapa pun mereka, menyandang gelar apa pun dan dimana pun mereka. Manusia bisa ngeles dari jeratan hukum buatan, tapi nggak akan pernah bisa mengelak dari hukuman Tuhan semasa hidup dan sesudah mati.

Melakukan perubahan tidak perlu menunggu bumi bergoyang dahsyat memporak-porandakan seluruh yang ada di atasnya, mau pun yang ada di dalam perut bumi. Kiamat pasti datang dan tugas kita bukan menghitung hari, bulan dan tahun kapan kiamat itu akan datang. Tugas kita adalah mempersiapkan diri agar hidup kita di akhir zaman mulia di sisi Tuhan. ***

CATEGORIES
TAGS