Kebijakan Anggaran Pada Pemerintahan Baru

Loading

Oleh: Fauzi Azis

ilustrasi

ilustrasi

PEMERINTAH bersama DPR setiap tahun akan menetapkan besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan dan belanja negara. Secara mudah sejatinya APBN itu dibuat untuk membiayai belanja operasional Kementrian/Llembaga (K/L) dan untuk membiayai belanja pembangunan di setiap tahun anggaran yang dimulai sejak bulan Januari dan berakhir di bulan Desember.

Sekarang ini yang selalu menjadi bahan perdebatan di ruang publik adalah bahwa volume anggaran tiap tahun jumlahnya meningkat, tetapi anggaran yang disediakan sebagian besar habis terpakai untuk membiayai belanja operasional dan belanja K/L yang lain, sehingga jumlahnya menjadi sangat terbatas yang dialokasikan untuk membiayai pembangunan.

Hal yang demikian bisa terjadi akibat dari sistem yang diterapkan sekarang berbasis pada pendekatan kebutuhan belanja K/L ketimbang lebih berbasis pada progam seperti yang pernah terjadi pada tahun 2000-2004 yang diatur dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Progam Pembangunan Nasional(Propenas).

Ada dua catatan penting untuk dapat difahami publik pada umumnya bahwa mengapa penyusunan anggaran menggunakan pendekatan belanja K/L? Penulis berpendapat bahwa pertama, karena proses penganggaran disusun berdasarkan azas single budget, dimana dalam sistem penganggaran sejak diberlakukannya Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara tidak lagi ada pembedaan penggunaan anggaran antara belanja rutin dan belanja pembangunan.

Kedua, sistem anggaran berbasis kinerja yang dianut sekarang lebih menekankan pada aspek capaian kinerja anggaran pada masing-masing K/L sebagai konsekwensi logis dianutnya pendekatan pengalokasian anggaran yang dibagi habis berdasarkan kebutuhan K/L yang bersangkutan, bukan capaian kinerja atas dasar pelaksanaan progam.

Dengan perkataan lain, APBN yang setiap tahun disusun pemerintah dan DPR, jumlah anggarannya hanya terpakai untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing K/L yang kalau ditelusuri memang banyak pos belanja yang sejatinya kegiatan yang dikerjakan adalah bersifat rutin atau swakelola, meskipun dasar penyusunan anggarannya tetap berpedoman pada progam K/L yang bersangkutan.

Namun harap dicatat bahwa progam tersebut adalah progam yang berisi kegiatan-kegiatan K/L sesuai tupoksinya masing-masing.Kalau keseluruhan progam tersebut dijumlahkan, maka publik akan dapat mengetahui adanya ribuan progam tersebar di keseluruhan K/L yang ada di pusat/daerah dan di wilayah sipil, militer dan kepolisian yang satu sama hampir pasti tidak sinkron satu sama lain.

Pola penganggaran yang seperti itu konsepnya menimbulkan konsekwensi terjadinya inefisiensi/boros dalam penggunaan anggaran,belum lagi yang dikorupsi disana-sini. Sebagai contoh anggaran untuk pembinaan sektor UMKM ada pada sekitar di 17 kementrian dan kalau ditelusuri pasti akan kita temukan hal yang serupa pada kegiatan lain.

Kalau pola ini tetap dianut pada pemerintah yang baru, maka hal serupa akan berulang kembali seperti yang selama ini berjalan.Nilai APBNnya makin bertambah besar, tetapi daya ungkitnya terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil karena karakter belanja pemerintahnya lebih bersifat konsumtif ketimbang bersifat produktif.

Kita berharap kebijakan dan postur anggaran pemerintah pada periode 2015-2019 dan berlanjut pada periode 2020-2025 yang merupakan periode kunci dalam melaksanakan pembangunan harus mengalami perubahan yang lebih mendasar. Perubahan yang dimaksud adalah bahwa pola penyusunan anggaran dilakukan dengan pendekatan progam pembangunan sehingga yang disusun oleh pemerintah dan yang kemudian diajukan kepada DPR untuk dibahas dan disahkan adalah berupa Rencana Kerja Pembangunan, bukan menggunakan istilah Rencana Kerja Pemerintah. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS