Kata Siapa Mengelola Jakarta Rumit?

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

HIDUP dan tinggal di Jakarta sebagai kota kosmopolitan, semakin menyesakkan. Macet, pengap, adrenalin cenderung naik, emosi gampang datang dan segudang masalah lain bisa datang dan pergi. Pak gubernur dan para calon gubernur dan seluruh masyarakatnya tanpa kecuali bisa mengajukan pertanyaan dan harus dijawab.

Pertanyaan dimaksud adalah; Apa yang harus kita lakukan dengan kota ini agar segala bentuk kekacauan dan permasalahan bisa diatasi. Jakarta perlu reposisi dan rebranding sebagai ibukota negara dan sebagai pusat ekonomi terbesar di Indonesia. Aman, tertib, bersih, lancar dan bebas banjir, menyegarkan dan membetahkan adalah harapan kita sebagai warga Jakarta.

Konsepnya sebenarnya tidaklah rumit, yaitu “Jakarta Rumahku dan Surgaku”. Dia menjadi rumit karena semuanya sulit diatur. Masing-masing mau mengatur dirinya sendiri. Keruwetan di Jakarta terjadi karena sulit diatur.

Tapi di lain pihak, seluruh warganya kepingin hidup enak dan nyaman. Menjadikan Jakarta sebagai “Rumahku Surgaku”, hakekatnya konsep hidup dan kehidupan yang simple yaitu bagaimana membuat para penghuninya hidup enak dan nyaman dan dapat menghirup udara segar. Itulah yang kita sebut simple dan sederhana.

Tapi faktanya, yang terjadi tidak semuanya seperti itu bukan? Apa yang diminta melalui doa, beda dari apa yang dikerjakan. Mau bukti? Korupsi jalan terus, kerjanya masih secara business as usual dan begitu terus berulang dilakukan.

Demikian juga law and order nyaris mati suri sehingga semuanya menjadi kacau balau, semua yang terjadi pembiaran. Luka di badan kita kalau kita biarkan berlama-lama, bisa jadi borok dan membusuk. Kalau dihitung dengan uang, pasti biaya pengobatannya jauh lebih besar ketika luka itu diobati di awal kejadian.

Gampang dan mudah kan membenahi Jakarta? Siapa bilang rumit. Wong urusannya soal komitmen, kerja keras dan bertanggungjawab dari seluruh pejabat DKI serta para penghuni Jakarta dari yang paling kaya sampai paling miskin koq.

Soal macet, bukan monopoli Jakarta saja. Kota-kota kosmopolitan lain di dunia ini juga mengalami kemacetan. Hanya saja, mereka bisa tertib kalau macet. Pengguna jalan sadar kalau tak tertib pasti tambah crowded. Tambah jalan baru, membangun MRT, menyediakan trotoar untuk pejalan kaki, jalur sepeda dan jalur busway dan taman kota, memang harus dibangun. Suka tidak suka hal itu diwujudkan karena kebutuhannnya memang mendesak.

Dari semua itu, yang paling urgent adalah membangun law and order dan penegakannya. Menjadi tidak ada artinya apa-apa semua fasilitas fisik yang dibangun kalau law and order tidak tegak, kokoh dan kuat berdiri.

Cagub dan cawagub DKI yang patut kita pilih adalah sosok yang sunguh-sungguh mau dan mampu mengerjakan semuanya itu. Tiga hari dalam sepekan, gubernur/wakil gubernur serta jajarannya untuk SKPD tertentu ngantor-nya di jalan, bukan di ruang ber AC di gedung blok G.

Soal banjir, juga bukan soal rob (air pasang laut), tapi soal kita. Mau endak kita rajin untuk bersih-bersih sungai dan riol, minimal 2x dalam sebulan-lah. Sediakan kobelco, scop pengeruk lumpur di sungai dan di bawah badan jalan dan pembuatan bipori di rumah-rumah, gedung perkantoran. Semua pasti beres dan banjir pasti berkurang, tidak menimbulkan bencana dan penyakit.

Jadi nggak usah teriak-teriak. Jakarta pasti akan bebas banjir dalam 3, 4, 5 tahun lagi. Yang penting adalah, tahun pertama sekian kali akan dikeruk, sekian kilometer panjang jalan riolnya akan dikeruk dan secara kasat mata memang betul-betul dikerjakan pengerukannya.

Begitu seterusnya. Jangan diumumkan akan dikeruk, biayanya juga jangan dialokasikan besar, sementara yang kita lihat hanya tukang sapu jalanan yang ada. Membangun Jakarta bukan hanya dengan pidato, bukan pula dengan adu konsep. Yang perlu adalah kerja..kerja.. kerja dan tunjukkan legacy dengan nyata.

Dinas PU dan Perhubungan kerjanya bukan di kantor. Tapi di lapangan. DKI harus punya otorita yang bertanggungjawab urusan di lapangan seperti BLU transjakarta. Bukan dinas-dinas yang diperbanyak, tapi BLU yang kompeten dan profesional.

Dana APBN maupun APBD DKI sampai tidak akan pernah cukup untuk membangun Jakarta meskipun tanpa harus dikorupsi. Karena itu, harus berani “berhutang” membangun Jakarta dan untuk menjadikan Jakarta menjadi “Rumahku Surgaku”. Kalau tak mau berhutang karena takut tidak sanggup bayar, dapat dicari alternatif yang memungkinkan.

Caranya antara lain adalah bahwa setiap investor kakap yang mengais untung di Jakarta/Jabodetabek, harus melakukan CSR untuk membangun taman kota, ruang publik untuk olah raga, berkesenian dll.

Bersih-bersih sungai dan riol dengan diberikan insentif pajak bagi yg melakukannya, sebagai bentuk kompensasinya. Bangun sekolahan, pusat-pusat pelayanan medik di sentra-sentra pemukiman marjinal atas nama progam CSR dengan kompensasi tax deductabel.

Membangun Jakarta memang berat. Tapi akan menjadi ringan kalau gubernur/wagub dan jajarannya bekerja dengan semangat kreativitas dan inovasi yang tinggi, tidak business as usual. Tidak cukup duit, pinjam, takut nggak bisa bayar hutang? Cari cara lain, yaitu galakkan progam CSR yang masif dengan menerapkan sistem tax deductible.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS