Kala Hati Dirundung Duka

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

HAMPIR semua kita, mau kaya ataupun miskin dalam sejarah perjalanan hidupnya pasti pernah mengalami kedukaan. Kadar dan cara menyikapinya pasti berbeda-beda. Tapi ragam peristiwanya yang bisa membuat duka dalam hidup kita boleh jadi bisa serupa tapi tak sama.

Duka karena ditinggal orang yang paling dicintai. Duka disebabkan kehilangan harta milik satu-satunya. Duka karena belum kunjung tiba untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Duka karena tidak pernah sempat mengenyam pendidikan dan kedukaan lain yang sewaktu-waktu bisa datang dan berhinggap dalam kehidupan kita dalam satu keluarga atau dalam komunitas lain yang lebih besar yaitu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Krisis ekonomi, bencana alam, krisis pangan pasti merupakan bentuk kedukaan yang dialami sebuah bangsa karena musibah yang menimpa negeri bersangkutan. Dalam fenomena kedukaan secara naluriah kemanusiaannya pasti akan terpanggil dan begitu pula solidaritasnya akan sontak tergugah dengan emampatinya muncul begitu mendalam dan kemudian berbuat sesuatu untuk membantu baik dalam bentuk materiil maupun spirituil.

Dalam suasana yang seperti itu ternyata sifat fitrah kemanusiaan untuk saling berbagi dan saling membantu muncul serentak, kecuali hanya manusia yang tidak waras saja yang bisa tertawa, disaat kedukaan datang. Kesetiakawanan sosial, keadaban manusia sebagai mahluk sosial tanpa basa-basi hadir dalam suasana duka cita yang seperti itu.

Semestinya kesetiakawan dan solidaritas sosial tidak hanya muncul ketika bencana dan musibah menimpa kita. Karena dia adalah sifat manusia yang mulia dan kemuliaannya harus selalu dijunjung tinggi dan ditempatkan di tempat yang paling tinggi dalam sistem sosial kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sistem sosial yang liberal dan keadaban individu ditempatkan pada piramida kehidupan yang lebih tinggi dari keadaban komunal, diakui atau tidak telah melahirkan dis-integrasi sosial yang acapkali mendistorsi sistem sosial yang menjunjung solidaritas dan kesetiakawanan.

Dalam suasana kebatinan yang seperti ini, maka pada saat yang sama sifat egoisme bersemi dan berkecambah dalam diri manusia yang hidup dalam suasana kebebasan yang tanpa disadari telah mendistorsi habis-habisan sistem tata nilai guyub yang menjunjung tinggi nilai kesetiakawanan dan solidaritas yang bersumber dari kearifan lokal.

Tata nilai ini pelan tapi pasti ikut tercabik-cabik dari akarnya dan lambat tapi pasti ikut tergantikan oleh tata nilai baru yang sebenarnya bukan milik kita. Tidak heran kalau kemudian organisasi koperasi, kebiasaan masyarakat pedesaan membangun lumbung padi tidak lagi bisa tumbuh subur menjadi instrumen pemacu dan sekaligus penyangga kehidupan ekonomi berbasis komunalitas untuk membangun kesejahteraan bersama.

Perasaan senasib sepenanggungan, ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul habis tergerus dan ditelan zaman. Yang muncul kemudian adalah semangat hedonisme dan konsumerisme yang melekat pada hampir setiap individu baik diperkotaan dan menjalar ke pedesaan.

Kesetiakawanan dan solidaritas sosial komunal tidak boleh dimatikan dengan alasan apapun karena dia adalah katub pengaman dan cagar kehidupan yang harus tetap dipelihara dan dihidup- hidupkan di sepanjang zaman seperti pepatah api yang tak pernah kunjung padam. Dia adalah oksigin dan energi kehidupan manusia yang hakiki sesuai fitrah manusia.

Rasa duka pasti setiap saat bisa datang, tapi jangan sampai duka cita itu datang disaat musibah dan bencana datang. Duka dan suka cita adalah siklus kehidupan. Tapi dua kondisi yang berbeda itu tidak boleh membuat manusia menjadi mudah mengabaikan fungsi dan peran sosialnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam mengelola kehidupan yang lebih damai dan sejahtera.

Dunia manapun harus mau mengakui dengan jujur bahwa kebinekaan itu ada dimana-mana, di belahan barat dunia, di belahan timur dunia atau di belahan dunia yang lain. Hegomoni itu bulsit karena dia hanya menggambarkan keangkuhan. Hegemoni itu melawan kodrat kemanusiaan.

Kapitalisme dan liberalisme bukan satu-satunya, best of the best. Kalau kemudian ternyata membawa bencana dan musibah maka layak untuk dikoreksi. Apalah artinya kalau kemudian ternyata liberalisme dan pasar bebas hanya melahirkan penderitaan bangsa lain karena secara head to head dia kalah tanding dan pada gilirannya melahirkan kedukaan yang mendalam bagi bangsa yang kalah tanding.

Semoga semua manusia sedunia bisa menata kembali kehidupannya dengan suasana baru yang lebih manusiawi dan tidak terperangkap menjadi animal economy. Rasakan dan hayati penuh keimanan dan keadaban manusia tatkala hati sedang dirundung duka. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS