Intervensi Pemerintah di Bidang Pergulaan Terlalu Banyak

Loading

335-gula_rafinasi.jpggggggg

Oleh: Ir Lintong Manurung MM

DARI sekian banyak komoditi yang diproduksi dan diperdagangkan di Indonesia, gula merupakan komoditi yang paling banyak dibebani dengan peraturan dan pengawasan yang membuat komoditi ini dan produk ikutannya  kehilangan daya saing, baik di pasaran ekspor maupun di pasar  lokal.

Dengan dalih untuk melindungi petani tebu dan mempersiapkan terwujudnya swasembada gula yaitu Tahap 1 swasembada gula konsumsi tahun 2009, Tahap 2, swasembada gula konsumsi dan industri tahun 2010-2014 dan Tahap 3, swasembada gula berdaya saing pada tahun 2015-2025, pemerintah telah menetapkan bermacam-macam upaya untuk pembinaan, pengaturan dan pengawasan komoditi gula.

Sejak ditetapkannya  SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643/MPP/Kep/9/2002,  14 tahun lalu, dilanjutkan dengan penetapan Keppres No 57 / 2014 tentang gula dalam pengawasan sehingga di lapangan aparat melakukan pengawasan yang ujungnya hight cost ekonomi.

Kemudian perobahan  SK Menperindag No 643/2002 diganti menjadi  SK No 527/2004 dan terakhir Peraturan Menteri Perdagangan No 117/ 2015, kebijakan produksi, impor sampai ke pemasaran gula di dalam negeri masih semakin salah urus.

Dengan pengaturan tata niaga gula sebagaimana ditetapkan dalam peraturan-peraturan  tersebut diatas, dalam rangka pemenuhan kebutuhan gula di dalam negeri ditetapkan bahwa kebutuhan gula untuk industri dipasok dari jenis gula kristal rafinasi (GKR) sedangkan gula kristal putih (GKP)  diperuntukkan khusus untuk gula konsumsi.

Dengan demikian di pasar dalam negeri dikenal dua jenis gula yaitu  GKR  dengan basis produksi di dalam negeri dengan menggunakan  bahan baku impor raw sugar dan GKP dengan basis produksi dengan menggunakan bahan baku tebu dari petani tebu rakyat.

GKR  ditujukan untuk kebutuhan industri-industri makanan & minuman yang membutuhkan gula sebagai bahan pemanis, sedangkan GKP  ditujukan  untuk konsumsi langsung  masyarakat.

Pembinaan dan pengaturan kedua jenis produsen gula ini sudah mengakibatkan  masalah tersendiri, karena industri gula yang berasal dari tebu merupakan kewenangan Kementerian Pertanian sedangkan infustri rafinasi merupakan kewenangan Kementerian Perindustrian. Pemberian kewenangan untuk memberi rekomendasi untuk  izin impor terhadap kedua jenis gula GKP dan GKR serta izin untuk impor bahan baku raw sugar yang melibatkan kedua kementerian ini, sebelum ditetapkan jumlah  alokasi impornya oleh Kementerian Perdagangan.

Pemerintah juga menetapkan peraturan bahwa izin impor GKP hanya diberikan kepada IT gula. IT gula ini adalah perusahaan yang perolehan tebunya paling sedikit 75 % yang bersumber dari petani tebu  atau bekerja sama dengan petani tebu setempat.

IT Gula ini diterbitkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri setelah mendapat persetujuan (rekomendasi) dari Dirjen Perkebunan. Karena GKR hanya boleh dijual ke industri pengguna dan dilarang diperdagangkan ke pasar bebas, maka semakin lengkaplah  keruwetan yang dihadapi pelaku usaha GKR karena perdagangan antar pulau hanya dapat dilakukan Pedagang Gula Antar Pulau Terdaftar (PGAPT). PAGPT diterbitkan Dirjen Perdagangan Dalam  Negeri setelah mendapat rekomendasi dari Dirjen Pembina di Kementerian Perindustrian.

Terakhir Permendag No117/2015 tentang ketentuan impor gula dan Permendag 74/2015  tentang  perdagangan antar pulau gula rafinasi antara lain menetapkan  GKR tidak boleh dijual ke distributor, telah menambah  objek pengawas di lapangan dan Industri Kecil Menengah (IKM) tidak bisa beli langsung  ke pabrik dan IKM Pangan sulit mendapat gula berkwalitas dan murah dan kalau beli di pasar bebas bisa dikriminalisasi.

Raw Sugar hanya dapat diimpor Importir Produsen (IP) GKR. IP GKR diterbitkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri, setelah mendapat rekomendasi dari  Dirjen Pembina di Kementerian Perindustrian untuk bahan baku industri gula rafinasi atau industri lainnya. Alokasi impor Raw Sugar untuk industri rafinasi ditetapkan dengan Rakortas Menteri.

Impor GKR untuk industri makanan, minuman dan farmasi hanya dapat dilakukan IP GKR. IP diterbitkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri setelah mendapat rekomendasi  dari Dirjen Pembina di Kementerian Perindustrian untuk bahan baku industri makanan, minuman atau farmasi sementara itu, penentuan kuota impor GKR ditetapkan  Rakortas.

Kebijaksanaan SNI yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk GKR sesuai dengan standar internasional yaitu mutu 1:0 ICUMSA  maksimum 45 IU dan mutu 2 : ICUMSA 80 IU tidak dapat dikonsumsi langsung, sedangkan GKP dengan standard mutu yang lebih rendah dengan ICUMSA > 80 IU s/d 1000 IU justru ditetapkan untuk konsumsi langsung masyarakat.

Kebijakan ini sangat tidak rasional  dan bertentangan dengan  hak konsumen dan HAM untuk menperoleh produk yang baik sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan hal-hal diatas, kita dapat mengambil kesimpulan;

1) Tata Niaga Impor, peraturan perdagangan antar pulau, alokasi impor raw sugar, GKP dan GKR ketentuan standar mutu GKP yang tidak menurut persyaratan mutu internasional, adalah masalah yang membuat Indonesia kehilangan daya saing dan produktivitas di bidang pergulaan.

Dengan banyaknya intervensi Pemerintah di bidang pergulaan sudah meningkatkan ekonomi biaya tinggi.

2) Peningkatan daya saing dan pengurangan biaya tinggi dalam produksi dan perdagangan  komoditi gula terwujud apabila dikotomi adanya GKP dan GKR dihilangkan. Kita menetapkan hanya satu jenis gula di dalam negeri yang mengacu kepada standar internasional. Segmentasi pasar dihilangkan sehingga yang membedakan jenis gula di pasar  hanya mutu dan harga.

3) Dengan penetapan satu jenis gula dengan SNI gula konsumsi IU 80 s/d 300 dengan menghilangkan cemaran mikroba. Dualisme pembinaan dan seluruh peraturan yang mendistorsi daya saing dan produktivitas di bidang industri dan perdagangan akan dapat dihilangkan.

4) Pemerintah harus melakukan review kembali atas program dan kebijaksanaan pengembangan pergulaan nasional. Program revitalisasi pabrik gula, kebijakan pembinaan di hulu  on farm, bibit, pupuk,  budidaya , produktivitas lahan tebu  dan off farm terutama dipabrik-psbrik gula (BUMN) yang tidak efisien, rendemen hanya, 6 – 7 %, seharusnya  bisa 10,% sebagaimana perkebunan di luar negeri.

5) Membangun perkebunan gula yang mampu menghaslkan raw sugar yang menenuhi syarat untuk industri rafinasi. 6) Masalah lahan perkebunan tebu di luar Pulau Jawa yang membutuhkan areal  350.000 ha sudah bertahun-tahun  sulit diwujudkan. (penulis adalah Ketua Umum DPP Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan -JPIP)

CATEGORIES
TAGS