Hanya Tajam ke Bawah
Oleh: Redaksi

ilustrasi
HIRUK pikuk masalah penegakan hukum di negeri tercinta ini masih terus berlangsung bahkan tidak ada tanda-tanda mereda. Malah sebaliknya semakin memanas. Banyak pihak mengklaim kalau pemerintah saat ini sudah amat tegas dalam penegakan hukum, tapi tidak sedikit juga suara yang menyebut, kalau gerakan penegakan hukum teramat lemah.
Kalau-pun ada, sifatnya tebang pilih. Artinya, penegakan hukum dimaksud tidak diberlakukan ke semua orang, namun pilih-pilih. Lebih tegasnya, jika menyangkut kepentingan orang-orang penting atau menyangkut kepentingan orang-orang yang sedang berpengaruh, penegakan hukum ditunda dulu dan bila perlu janganlah.
Maka itu tidak heran jika rumor yang mengatakan hukum itu ibarat pisau yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, sampai sekarang masih terus populer. Secara logika memang, jika pisau itu tidak tumpul bagian atasnya, yang menggunakan pisau bisa-bisa tersayat juga, yang korban bisa jadi dua yang menyayat dan yang disayat.
Namun kalau filosofi pisau kita gunakan kepada penegakan hukum, malah menjadi tidak tepat sebutan yang menyatakan kalau di depan hukum, semua sama kedudukannya, semua pihak harus tunduk kepada hokum. Semboyan hukum ini bisa kita sebut bulsit.
Tapi demikianlah faktanya di negeri berlandaskan Pancasila ini. Tajam ke bawah tumpul ke atas. Satu ayat saja dalam KUHAP, bisa diperdebatkan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya jika ayat itu menyangkut orang-orang penggede. Tapi pasal apapun itu, jika menyangkut rakyat kecil yang tidak punya nilai apa-apa di negeri ini, langsung saja dijebloskan ke dalam ruang tahanan, bahkan bila perlu disiksa dulu. Soal dia bersalah atau tidak, nanti saja diproses.
Wapres Boediono misalnya. Anggota Timwas Century Fahri Hamzah sudah mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harusnya memberikan status tersangka terhadap Wakil Presiden RI Boediono.
Apalagi, KPK sendiri mengaku telah memeriksa mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Washington AS sebanyak dua kali. Artinya tidak ada lagi alasan menunda-nunda untuk menjadikan Boediono sebagai tersangka.
Desakan anggota DPR bukannya tidak beralasan sebab KPK sudah mengindikasikan akan melakukan pemeriksaan terhadap Boediono pasca memeriksa Sri Mulyani. Namun, bagi Fahri, tanpa memanggil dan memeriksa Boediono, KPK sudah bisa menetapkan status tersangka.
Jika sudah demikian adanya, KPK tidak harus memanggil Boediono untuk dimintai keterangannya. Melainkan, langsung menetapkan tersangka dan menjemputnya sebab sebenarnya bukti keterlibatan Boediono dalam masalah Century menurut info dari kalangan DPR, sudah terang. Tinggal keberanian KPK saja dalam memberikan status.
Sebelumnya, KPK melalui Ketua Abraham Samad mengaku sudah memeriksa Sri Mulyani. Setelah Sri Mulyani, Abraham memberi sinyal untuk memanggil dan memeriksa Wakil Presiden Boediono.
Soal keberanian inilah yang membuat negeri menjadi repot. Keberanian aparat penegakan hokum kepada rakyat yang tak memiliki kekuatan apa-apa, seharusnya demikian pula kepada mereka para koruptor yang adalah petinggi-petinggi negeri ini. Jangan pilih kasih dan jangan tebang pilih.
Kalau kita mau tanya apa kesulitan penegak hukum menangkap lalu menahan petinggi negeri ini jika dia terbukti bersalah, apa jawabannya? ***