Dinamika Perubahan Hukum di Indonesia Hadapi Pembusukan Lewat Yudikatif

Loading

Oleh; Petrus Selestinus

 

PUTUSAN MA No.23 P/HUM/2024, tanggal 29/5/2024 yang mengubah ketentuan batas minimal usia pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No. 9 Tahun 2020, mengagetkan pubik.

Mengapa, karena belum selesai perdebatan publik soal kontroversi Putusan MK No.90/ PUU-XXI/2023 tanggal 16/10/ 2023, yang memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming menuju Cawapres, kini publik dikejutkan lagi dengan Putusan MA No.23 P/HUM/2024, tanggal 29/5/2024, yang kontroversial juga, karena disebut-sebut untuk memuluskan jalan bagi pencalonan Kaesang Pangarep sebagai Cagub DKI Jakarta.

Masyarakat menghubungkan Putusan MA No. 23 P/HUM/2024, tgl.29/5/2024 dengan Politik Dinasti, Nepotisme dan Kroniisme Jokowi  karena nyatanya Dinasti Politik Jokowi semakin menguat, sehingga sangat beralasan resistensi dari publik atas penguatan Dinasti Politik Jokowi lewat sistem Nepotisme dan Kroniisme di lintas lembaga tinggi negara secara vertikal yang sudah “tak terbendung lagi”.

Artinya jika seseorang anak Pejabat atau Penjahat Ekonomi, atau pengusaha kaya, ingin menjadi pejabat di supra struktur politik, maka cukup dengan ubah Peraturan Perundang-undangan lewat proses Uji Materil, karena hanya dalam waktu singkat, semua hal menjadi lebih instan, pragmatis dan legal, dan ini yang sedang menjadi trend di jagad politik Indonesia saat ini.

Hakim Melacurkan Diri

Jika memperhatikan seluruh butir ketentuan pasal 4 ayat (1) PKPU No.9, tahun 2020, Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dstnya., maka nampak jelas bahwa rumusan butir-butir ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No.9, tahun 2020, sama persis dengan rumusan butir-butir ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf e UU No.10, tahun 2016, karena KPU hanya mengcopy paste butir-butir itu.

Itu berarti ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No.9 Tahun 2020, tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf e UU No.10 Tahun 2016, sehingga dengan demikian jika ingin mengubahnya maka terlebih dahulu harus mengubah dulu ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf e UU No.10 Tahun 2016.

Oleh karena itu tidak terdapat alasan yuridis, sosiologis dan filosofis untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No. 9 Tahun 2020, bertentangan dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016, karena isinya sama persis bahkan membuat putusan MA menjadi bertentangan dengan pasal 7 ayat (2) huruf e UU No.10 Tahun 2016.

Putusan Uji Materil Mahkamah Agung dalam Perkara No. 23 P/HUM/2024, tanggal 29 Mei 2024, yang mengubah substansi pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No. 9 Tahun 2020 dan menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No. 9 tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dst-nya. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU No. 10 Tahun 2016, jelas hal ini merupakan sebuah politicking, sebagai melacurkan profesi Hakim dan hanya menciptakan kekosongan hukum.

Alasannya karena KPU tetap terikat dengan keharusan yang diperintahkan oleh ketentuan pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) huruf e UU No.10 Tahun 2016 bahwa calon Gubernur dan Wakil Gubernur dastnya…sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu “harus memenuhi persyaratan sbb., termasuk syarat huruf e”.

Harmonisasi Mencurigakan

Mahkamah Agung ternyata terjebak dalam pusaran politik Pragmatisme, Nepotisme dan Kroniisme yang mengalahkan segala sistim tata negara, tata pemerintahan dan tata hukum Indonesia, tergantung pesanan dan siapa yang memesan.

Karena itu orang lalu ingin menjadi politisi (pejabat negara) cukup dengan meminta lembaga Yudikatif mengubah satu dua ayat atau pasal dari suatu UU atau suatu peraturan perundang-undangan lainnya, tanpa harus menempuh proses legislasi yang melelahkan dengan biaya tinggi.

Hal yang aneh dalam Uji Materil PKPU No. 23 P/HUM/2024, adalah nampak sekali Hakim MA melakukan proses marathon lewat jalan tol, karena proses Uji Materiil perkara No. 23 P/HUM/ 2024, dilakukan secara super kilat, jika dilihat dari tanggal Permohonan Uji Materiil diajukan pada 23/4/2024; didistribusikan ke Majelis Hakim pada tanggal 27/5/2024; dan diputus Majelis Hakim pada tanggal 29/5/2024.

Secepat kilat proses sidang di MA untuk memutus perkara No.23 P/HUM/ 2024, hanya dua hari sidang langsung diputus (tanggal 27 Mei ke 29 Mei), bisa saja karena MA didesak agar ikuti irama marathon di saat KPU sedang kebut mengubah PKPU No.9 Tahun 2020 yang katanya sedang dalam proses harmonisasi rancangan perubahan.

Mengubah dan menyatakan tidak sah pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No.9 TAHUN 2020, tanpa terlebih dahulu mengubah ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf e UU No.10 Tahun 2016, maka Hakim MA, bisa dinilai menciptakan kekosongan hukum dan menempatkan KPU dalam posisi dilematis, karena mengubah rumusan pasal 4 ayat (1) huruf d tanpa mengubah ketentuan pasal 7 ayat (2) huruf e UU No.10 Tahun 2016, mustahil dilakukan karena tu adalah sebuah anomali.

Kolaborasi Penjahat dan Pejabat

Begitu pula dengan syarat lainnya, jika MA mau mengubah ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No.9 Tahun 2020, maka syarat lainnya dalam pasal 4 ayat (1) huruf a s/d. w, juga harus diubah atau berlaku sama yaitu semua diberlakukan saat pelantikan, karena persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Psal 4 ayat (1) huruf d  memiliki derajad yang sama dengan sifat absolut yang sama tanpa ada yang dikecualikan.

Inilah kekonyolan hakim kita dan hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Prof. Mahfud MD bahwa kolaborasi antara Pejahat Ekonomi dengan Pejabat di Pemerintah, dalam merumuskan kebijakan politik, kelak akan membahayakan dan merugikan rakyat, dan kasus ini merupakan salah satu fenomena ke arah kerusakan sistem akibat kolaborasi Penjahat dan Pejabat.

Dengan demikian dipastikan bahwa Putusan MA No. 23 P/ HUM/2024, tanggal 29/5/2024, jelas tidak dapat dilaksanakan oleh KPU karena bertentangan dengan ketentuan pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No.10 Tahun 2016 dan bertentangan dengan prinsip “lex superior derogat legi inferiori“.(Penulis adalah advokat dan Koordinator TPDI)

CATEGORIES
TAGS