Reformasi Jilid Dua

Loading

Oleh: Fauzi Azis

ilustrasi

ilustrasi

MEMBACA beberapa media akhir-akhir ini banyak menyuarakan perlunya negara ini melakukan upaya perbaikan yang lebih fondamental agar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih sehat dan lebih baik. Bersifat fondamental berarti pola dan struktur kehidupan masyarakatnya menjadi makin kuat secara spiritual dan material dalam negara yang demokratis.

Tatanan yang akan dibangun harus berlandaskan Pancasila sebagai landasan idiogis dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Penekanan ini menjadi penting karena pada waktu krisis tahun 1998, ketika Indonesia menata kembali kehidupan ekonominya, landasan idiologisnya adalah liberalisme, yang secara eksplisit mengikuti pakem/doktrin IMF yang dikenal dengan Structural Ajusment Progam (SAP).

Terkesan menafikkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Kesan kuat yang timbul, seakan-akan bangsa Indonesia telah mati suri akibat krisis, sehingga seperti tidak ada pilihan lain kecuali harus minum pil pahit resep IMF yang dikenal dengan SAP tersebut.

Padahal, Pancasila dan UUD 1945(pasal 33) telah cukup memberikan kisi-kisi nilai dasar bagi pembangunan ekonomi di negeri ini secara komprehensif dan bersifat mendasar sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, kerangka dasar yang harus dibangun bersama oleh seluruh komponen bangsa dalam merencanakan adanya reformasi jilid dua ini harus disepakati ruang lingkup dan formatnya.

Sebagai negara yang demokratis, maka pelibatan rakyat secara inklusif dalam perkuatan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus maksimal dan tidak bersifat formalitas belaka. Dalam konteks ini, maka reformasi di bidang pendidikan dan kesehatan menjadi yang utama perlu dilakukan agar di republik ini tidak ada lagi disparitas yang mencolok dalam pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Talenta dan bakat seluruh rakyat harus dapat tersalurkan dalam berbagai kehidupan politik, hukum, sosial, budaya dan ekonomi yang selama ini dikesankan hanya dijadikan sebagai obyek. Peluang ini harus diberikan guna memperbaiki kohesi sosial yang rusak akibat disparitas yang terjadi selama ini, yang kondisinya telah menimbulkan kerusakan sosial dan konflik sosial dimana-mana.

Reformasi jilid dua ini seyogyanya mencakup empat pilar utama, yakni politik dan keamanan, sosial budaya, ekonomi. serta law and order. Pujian, sanjungan dan proyeksi yang dibuat oleh lembaga internasional tentang masa depan Indonesia yang lebih gemilang jangan membuat bangsa ini terlena dan lupa diri melaksanakan tugas utamanya di dalam negeri, yakni melaksanakan pembenahan secara fondamental agar menjadi bangsa yang kuat dan mandiri dan dapat berdiri sejajar dengan bangsa lain di dunia.

Bukan hanya sekedar itu, ada hal yang jauh lebih penting bahwa bangsa Indonesia tidak terjajah kembali. Dalam konteks pembangunan, reformasi yang dijalankan harus tidak makin membuat pulau Jawa menjadi pusat pertumbuhan yang akhirnya tenggelam akibat kongesti yang sangat parah, tetapi harus mengakselerasi pembangunan di luar Jawa.

Reformasi harus mampu mengarahkan terjadinya realokasi sumber daya pembangunan ke pusat-pusat pertumbuhan baru di luar pulau Jawa. Kesenjangan antar wilayah adalah masalah serius yang dihadapi negeri ini. Karena itu, instrumen regulasi yang dibangun harus secara nyata dapat memfasilitasi terjadinya pergeseran tersebut.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan fungsinya harus teralokasi sesuai dengan alur pembangunan yang akan dijalankan oleh negara/pemerintah, bukan hanya sekedar dibagi habis diantara Kementrian/Lembaga. Prioritas pembangunan ditetapkan oleh negara dengan melibatkan secara inklusif rakyat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dan pengendaliannya.

Sekarang ini karena rakyat di tempatkan posisinya sebagai obyek, maka APBN seolah-olah hanya menjadi haknya pemerintah untuk menggunakannnya. Padahal sesuai amanat konstitusi (pasal 23 ayat (1) UUD 1945), APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan UU harus dilakasanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Reformasi jilid pertama telah berjalan selama 15 tahun. Tapi bangsa ini sepertinya belum berhasil membangun dirinya. Reformasi jilid kedua yang kita harapkan adalah agar hak-hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan benar-benar terpenuhi untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya di muka bumi. Pendek kata, reformasi jilid kedua ini harus mampu menjawab kebutuhan dasar manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana perintah UUD 1945 pada bab X yang mengatur tentang warga negara dan penduduk.

Stabilitas politik dan keamanan, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh Indonesia di masa kini dan di waktu yang akan datang pada akhirnya harus bisa melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial.

Inilah mengapa beberapa kalangan menghendaki agar negara perlu melanjutkan progam reformasinya. Semangatnya adalah menyehatkan cara mengelola bangsa dan negara agar kembali ke khitohnya. Yang salah harus dibetulkan. Yang bengkak-bengkok juga harus bisa diluruskan.

Sekarang saat yang tepat untuk bermuhasabah dan sambil berbenah melakukan perbaikan kembali, law and order harus tegak. Reformasi bukan sekedar bongkar pasang atau hanya sekedar melaksanakan fungsi legislasi nasional, tapi kita lakukan karena bangsa ini sejatinya masih membutuhkan demi menyongsong hari depannya.

Sistem kohesi sosial yang rusak dapat diperbaiki dan menumbuhkan semangat baru bagi seluruh komponen bangsa untuk melakukan kerja bersama membangun Indonesia baru yang lebih bermartabat dan beradab dalam bingkai NKRI. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS