Gangguan Cash-Flow Keuangan Publik dan Privat, Soal Kita Hari Ini
Oleh: Fauzi Aziz
PERTAMA, sejak pandemi covid 19 berjalan setahun ini, perekonomian memang menjadi demam tinggi. Masalah tidak hanya dihadapi pemerintah, tetapi juga dunia usaha dan masyarakat. Semua serba sulit. Ada satu aspek yang paling menonjol menjadi perhatian banyak pihak, yakni cashflow menjadi minus, baik yang terjadi pada sistem keuangan publik maupun privat.
Dua raksasa tekstil Indonesia, yakni Sritex dan Pan Brothers mengalami situasi itu. Boleh jadi juga dihadapi oleh perusahaan lain yang bergerak di sektor manufaktur atau jasa. Di level korporasi hal ini bisa terjadi karena pendapatan menurun cukup besar, piutang lancar menjadi piutang ragu-ragu dan utang jatuh tempo tidak mampu dilunasi.
KEDUA, pemerintah sendiri secara umum juga menghadapi cashflow , dan secara umum pula penyebabnya dapat diketahui dari faktor terjadinya shortfall pajak dan neraca keseimbangan primer yang negatif. Ada dua ikhtiyar yang dicoba dilakukan pemerintah, yang sudah muncul di berita, yakni akan menaikkan tarif PPN menjadi 15% , ada pula kabar mau melakukan tax amnesty dan kini muncul berita bahwa pemerintah akan memangkas anggaran K/L tahun ini dan juga untuk tahun 2022. Di level korporasi juga pasti akan dilakukan upaya restrukturisasi secara internal guna mencegah terjadinya “kepailitan”.
KETIGA, jika dilihat dari aspek penyelamatan perekonomian, maka baik organisasi publik dan organisasi bisnis pada level korporasi kecil, menengah, dan besar sama-sama butuh tindakan penyelamatan untuk mencegah apakah namanya gagal bayar atau krisis likuiditas .
Posisi pemerintah jelas berat karena dalam kondisi bagaimanapun, pemerintah harus bisa menjadi dewa penyelamat agar jangan sampai mengalami situasi yang paling buruk pada level korporasi maupun masyarakat.
Tindakan penyelamatan juga harus di lakukan pada sistem keuangan negara karena bagaimanapun pemerintah memiliki berbagai kewajiban mandatori jika terjadi krisis ekonomi.
Dalam UU nomor 17/ 2003 tentang keuangan negara, peran pemerintah bersifat sentral dalam pola hubungan antara keuangan negara dengan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ketika terjadi krisis ekonomi.
Pada situasi sekarang harus diakui bahwa bagi pemerintah menjadi buah simalakama, sehingga dalam kedudukannya sebagai dewa penyelamat harus bekerja ekstra keras antara lain mencari sumber-sumber pendanaan eksternal untuk menyediakan dana kontijensi guna mitigasi berbagai risiko. Menjadi dewa penyelamat adalah perintah konstitusi dan undang -undang.
KEEMPAT, terkait dengan itu,maka pemerintah memiliki mekanisme Bond Stabilization Framework yaitu merupakan instrumen dalam APBN yang dananya dapat digunakan dalam rangka mitigasi krisis keuangan. Instrumen ini mengatur mekanisme rinci tentang pemanfaatan sumber dana dalam menstabilkan pasar obligasi.
Bila pemerintah mengaktifkan Bond Stabilization Framework, maka pemerintah dapat melakukan by back SBN dan dapat memerintahkan BUMN untuk malukan by back saham dalam rangka menstabilkan rupiah. Ini baru yang terkait dengan urusan rumah tangga pemerintah sendiri.
Untuk membantu perusahaan swasta, dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah pusat dapat menberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR. Lepas dari kasus yang dihadapi oleh Sriteks dan Pan Brothers, maka pada dasarnya mereka atau perusahaan lain yang terdampak krisis dan kemudian menghadapi masalah keuangan dapat dilakukan tindakan penyelamatan keuangan perusahaan sepanjang aturan pelaksanaannya sudah ada, dan sudah tersedia pula mekanisme rinci tentang pemanfaatan sumber dana yang disediakan pemerintah.
Potensial Macet
Dalam progam PEN, bantuan stimulus sebagian besar diberikan untuk membantu keuangan UMKM, BUMN dan bantuan ke bank jangkar untuk keperluan restrukturisasi utang nasabah yang kreditnya potensial macet. Untuk penyelamatan seperti kasus Sriteks dan Pan Brothers, atau perusahaan swasta lainnya setahu penulis belum ada Peraturan Pemerintahnya.
KELIMA, dalam konteks kebijakan, di luar yang sudah diatur dalam UU nomor 17/2003 tentang keuangan negara, juga ada UU nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Pemerintah juga menerbitkan Perppu nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 ,dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, yang kemudian diundang kan menjadi UU yang kita kenal dengan UU tentang Covid-19.
Di luar sistem keuangan,ada satu lagi yang diatur dalam UU nomor 3 /2014 tentang Perindustrian yang diantaranya mengatur tentang Pengamanan dsn Penyelamatan Industri, tapi PPnya belum diterbitkan hingga kini. Jadi dilihat dari kerangka umum kebijakan dan regulasi tersebut sebenaqnya sudah cukup memberi ruang kepada pemerintah untuk melalukan pencegahan, pengamanan pemulihan,dan penyelamatan perekonomian nasional. Hanya saja kemampuan keuangan negara sangat terbatas sehingga pemerintah harus menetapkan skala prioritas dan berbagai kreteria untuk memberikan stimulus pemulihan dan penyelamatan ekonomi kepada sektor-sektor terdampak. Semua upaya ini dilakulan dengan kehati-hatian karena pemerintah sendiri juga menghadapi masalah cash-flow negatif yang selama ini ditutup dengan utang luar negeri yang kini telah mencapai 41% terhadap PDB, yang nilai PDB-nya sendiri menyusut.
KEENAM, kesimpulannya adalah bahwa cashflow yang negatif sesungguhnya hanya akibat dari kondisi perekonomian yang buruk sehingga semua sumber-sumber pendapatan negara, pendapatan korporasi dan pendapatan masyarakat menurun.
Dari situasi ini, maka cashflow yang negatif, akhirnya menjadi sumber masalah sendiri, dan jika terus negatif maka “kebangkrutan” akan menjadi ancaman serius bagi perekonomian. Awalnya cash-flow negatif kita anggap sebagai gangguan yang bersifat cyclical , namun manakala gangguan itu terus berulang sifat hakinya dapat berubah menjadi ancaman yang berpotensi menimbulkan krisis keuangan atau krisis likuiditas.
Karena itu, sebaiknya pemerintah merancang APBN ketat ( kontraksi fiskal ) mengingat beban pengeluaran rutin yang tinggi akibat kebijakan pemulihan ekonomi. Defisit anggaran mendekati 6% dari PDB. Ini benar karena di back up oleh perundang-undangan. Menjadi berisiko karena seluruh defisit anggaran ditutup dengan beban utang. Mengendalikan utang luar negeri pemerintah harus disertai dengan penerapan kebijakan kontraksi fiskal.
Belanja rutin tidak dibiayai dari dana utang, kecuali untuk keperluan pembangunan yang bersifat urgen dan penting bagi rakyat banyak. Proyek “mercusuar” dijadwal ulang, yang boros menggunakan APBN dan cadangan devisa karena impor kontennya tinggi.
Indonesia harus ketat menjaga defisit neraca transaksi berjalan, neraca pembayaran dan defisit APBN. Besar pasak daripada tiang adalah sumber malapetaka yang harus dihindari. Salam sehat, maaf lahir batin. (penulis pemerhati ekonomi dan industri, tinggal di Jakarta)