Daya Saing Indonesia Turun
BOGOR, (tubasmedia.com) – Peringkat daya saing Indonesia (2015/2016) turun menjadi peringkat ke-37 dari sebelumnya pada tahun 2014/2015 peringkat 34. Pada level ASEAN. Peringkat Indonesia masih kalah dengan tiga negara tetangga yaitu Singapura yang berada pada peringkat 2, Malaysia di peringkat 18 dan Thailand di peringkat 32.
Hal itu dikatakan Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Haris Munadar pada acara Business Gathering Hasil Litbang Balai Besar Industri Agro di Bogor, Selasa (23/2).
Namun lanjutnya posisi Indonesia masih mengungguli Filippina yang berada pada peringkat 47, Vietnam peringkat 56, Laos peringkat 83, Kamboja peringkat 90 dan Myanmar peringkat 131.
Kendati demikian lanjutnya, hal ini menjadi tantangan untuk lebih maju, karena bangsa yang memiliki daya akan mampu mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam, berbagai kehidupan termasuk dalam bidang ekonomi dan teknologi.
Dua pilar penting dalam mendukung peningkatan daya saing ekonomi, katanya adalah inovasi dan kesiapan teknologi. Tingkat inovasi Indonesia dipandang cukup penting (posisi 31 dari 144 negara), namun kesiapan teknologi Indonesia masih tertinggal pada posisi 77.
Di bagian lain dikatakan, lembaga penelitian dan pengembangan Kementerian Perindustrian terus meningkatkan pelayanan jasanya untuk menjadi pusat inovasi dan teknologi yang dibutuhkan pelaku industri nasional. Hal tersebut mampu mendorong peningkatan daya saing produk dalam negeri di pasar domestik dan ekspor.
“Kami berharap, riset yang telah dilakukan Balai Besar dan Baristand Industri perlu dilanjutkan secara intensif ke jenjang terapan sehingga bisa lebih banyak digunakan oleh pelaku industri kita,” katanya.
Haris mengatakan, untuk mempercepat hasil inovasi agar dapat dikomersialisasikan, beberapa strategi yang perlu dilakukan, antara lain peneliti mencari solusi dari permasalahan yang kerap dihadapi pelaku industri seperti meminimalkan jumlah energi yang digunakan dan jumlah limbah yang dihasilkan dalam proses produksi.
“Selain itu, peneliti mencari solusi untuk mensubstitusi ketergantungan impor bahan baku atau bahan penolong dari berbagai kelompok industri dalam rangka menghemat devisa negara,” tambahnya.
Di samping itu, Haris menyampaikan, peneliti atau perekayasa sudah saatnya merubah orientasi dengan melakukan kegiatan litbang yang menghasilkan paten bernilai komersial. “Semakin banyak permohonan paten di suatu negara, semakin kompetitif negara tersebut,” ujarnya.
Selama periode 2009-2014, jumlah permohonan paten dari Indonesia melalui biro internasional World Intellectual Property Organization (WIPO) di Jenewa, masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asean. Apalagi dibandingkan dengan negara-negara maju di luar kawasan tersebut.
Pada tahun 2014, dari 8.023 jumlah permohonan paten yang didaftarkan di Indonesia, hanya 10 persen yang diajukan oleh warga Indonesia dan sisanya diajukan oleh warga asing. “Dari 10 persen paten dalam negeri, hanya sekitar 50 persen terkait dengan sektor industri,” ungkap Haris.
Menurut Haris, rendahnya permohonan paten tersebut mengindikasikan inovasi dalam proses litbang untuk menghasilkan paten bernilai komersial di dalam negeri masih rendah dan terkesan kurang serius, sehingga dirasa tidak layak didaftarkan melalui WIPO.
“Kekurangseriusan ini dipicu karena budaya bangsa kita lebih cenderung sebagai konsumen daripada membuat atau mencipta. Selain itu juga kebanyakan ilmuwan hanya menggunakan atau memodifikasi teknologi yang sudah ada untuk mengerjakan proyek-proyek mereka,” paparnya.
Untuk itu, sebagai salah satu tugas dan fungsi BPPI, pelaksanaan kegiatan Business Gethering dalam rangka mempercepat proses penyampaian informasi baik dari pihak Balai mengenai hasil litbang dan jenis layanan teknologi yang dapat diberikan maupun dari pihak industri dalam mengemukakan berbagai permasalahan yang dihadapi pada sektornya untuk mencari solusinya.
Selain itu, lembaga litbang juga diharapkan mampu memfasilitasi pengembangan industri baru berbasis inovasi teknologi, yang mampu menerapkan hasil litbang menjadi produk terapan yang berdaya saing tinggi, yaitu melalui layanan science & techno park serta inkubator bisnis.
Salah satu lembaga litbang Kemenperin yang menyediakan layanan tersebut yaitu adalah Balai Besar Industri Agro, yang memiliki berbagai fasilitas teknologi di bidang pangan, antara lain untuk pengasapan ikan, pembuatan pelet pakan ternak dan bahan bakar padat biomas, pengolahan tepung singkong (mokaf) dan diversifikasi produk mokaf, pengolahan kakao dan diversifikasi produk cokelat, serta pengolahan kelapa parut kering (desiccated coconut). Fasilitas ini dapat dimanfaatkan oleh IKM maupun instansi lainnya yang ingin melakukan inovasi atau pengembangan usahanya dalam bidang tersebut.
“Kunci sukses dalam berinovasi adalah dengan memprioritaskan masalah yang dihadapi dan selalu mengupayakan pemecahan masalah. Oleh karena itu, pelayanan yang baik berawal dari identifikasi dan pemecahan masalah di industri yang kemudian akan mendorong terjadinya inovasi,” pungkasnya. (sabar)