Darurat Tansportasi Logistik Multimoda

Loading

Oleh: Efendy Tambunan

ilustrasi

ilustrasi

DI tengah buruknya infrastruktur transportasi, penyelesaian pembangunan rel ganda Jakarta-Surabaya diharapkan menjadi trigger pembangunan infrastruktur transportasi dalam skala masif. Keberadaan jalur rel ganda menjadi tonggak bersejarah dimulainya pembangunan infrastruktur transportasi dalam skala masif.

Sebagai negara kontinental dengan 13.000 pulau, moda laut mestinya mempunyai peran strategis. Tetapi faktanya, terjadi ketimpangan modal share pergerakan barang. Transportasi barang melalui jalan raya mencapai 91%, berbasis kereta api 0,7% dan hanya 8,3% melalui bandara dan pelabuhan.

Selain timpangnya modal share, pergerakan barang juga tidak efisien. Inefisiensi angkutan logistik bersumber dari: 1) angkutan laut pulang pergi tidak optimal, 2) lemahnya infrastruktur dan suprastruktur pelabuhan 4) akses kereta api ke pelabuhan terbatas, 5) stasion kereta api tidak memiliki infrastruktur dan suprastruktur transit barang, 6) transportasi jalan raya sering terhadang macet, 7) maraknya pungutan tidak resmi mulai dari pelabuhan hingga jalan raya.

Dampak inefisiensi, biaya angkut logistik mahal. Sebagai perbandingan, biaya angkut logistik di Indonesia sekitar 15 persen sementara di Jepang hanya berkisar 5%. Biaya logistik mahal akan melemahkan daya saing produk ekspor dan menekan harga barang di sentra produksi.

Pada umumnya, stasion kereta api dirancang untuk melayani penumpang. Kehadiran rel ganda dapat meningkatkan volume angkutan barang dan penumpang. Tetapi disisi lain akan menimbulkan masalah besar di stasiun kereta api. Solusinya, perlu dibangun beberapa stasiun di jalur rel ganda Jakarta-Surabaya, khusus melayani perpindahan barang dari kereta api ke truk dan sebaliknya.

Dalam konsep angkutan barang dari point ke point, kereta api hanya berfungsi sebagai transmisi. Kereta api tidak dapat mengangkut barang, jauh ke dalam wilayah daratan seperti angkutan sungai atau jalan raya. Oleh sebab itu, pengumpulan dan distribusi barang tetap mengandalkan moda berbasis jalan raya.

Angkutan Antarpulau

Berdasarkan berbagai referensi, angkutan laut merupakan angkutan barang yang paling murah untuk perjalanan jarak jauh kemudian disusul dengan kereta api dan angkutan jalan. Artinya, prospek dan potensi angkutan laut dengan 13.000 pulau sangat menjanjikan tetapi banyak terbentur dengan kapasitas infrastruktur dan biaya tidak resmi di pelabuhan.

Alhasil, angkutan laut di satu pulau atau antarpulau terbebani dengan inefesiensi pelabuhan. Karena tidak efisien, biaya angkut barang dengan moda laut lebih mahal dibanding moda darat. Dampaknya, angkutan barang bergeser dari angkutan laut ke darat.

Mahalnya biaya angkutan laut disebabkan berbagai alasan. Pertama, produksi barang dan lokasi konsumen terkonsentrasi di Pulau Jawa sehingga distribusi barang antarpulau tidak optimal. Kedua, kapasitas infrastruktur pelabuhan terbatas sehingga ukuran dan tonase (DWT) kapal yang dilayani kecil dan rendah. Ketiga, akses kereta api ke pelabuhan hanya terdapat di Pelabuhan Tanjung Priok sementara di pelabuhan lainnya tidak dapat diakses. Keempat, praktek pungutan tidak resmi masih marak terjadi.

Hingga saat ini, pengiriman barang dari pelabuhan ke pusat konsumen lebih mengandalkan jalan raya sehingga jalan raya sangat terbebani dengan pergerakan penumpang dan barang. Perlu dipikirkan memindahkan distribusi barang melalui laut dan kereta api untuk mengurangi beban jalan raya sekaligus menekan biaya pengiriman barang.

Selain masalah inefisiensi di pelabuhan, masalah lain yang terkait dengan transportasi laut adalah kapal berangkat penuh dan kosong ketika pulang sehingga biaya angkut barang di hitung biaya angkut pulang pergi. Untuk mengatasi hal ini, distribusi produksi barang harus disebar di seluruh Indonesia supaya muatan kapal pulang pergi tetap penuh.

Mahalnya biaya logistik sangat menekan daya saing bangsa. Oleh karena itu, pemerintah baru yang terpilih nanti harus menjadikan pembangunan infrastruktur transportasi menjadi prioritas utama. Pembangunan infrastruktur transportasi dalam skala masif membutuhkan investasi sekitar 6.000 triliun rupiah sementara ruang fiskal pemerintah sangat sempit.

Karena terbatasnya ruang fiskal dan besarnya dana yang dibutuhkan, pemerintah harus melakukan strategi yang jitu dan terobosan yang revolusioner (bussines unusual). Untuk pendanaan infrastruktur, pemerintah harus bekerjasa dengan pihak swasta. Pembiayaan dapat bersumber dari Performance Based Annuity Scheme (PBAS), Domestic Capital Market dimana pendanaan infrastruktur bersumber dari aset perbankan, industri asuransi, dana pensiun, pasar modal, lembaga non-bank, dll. (penulis, pendiri Toba Borneo Institute)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS