Bukan Hanya Ukuran PDB
Oleh; Fauzi Aziz
EKONOMI global dan nasional senjang. Isunya menjadi bergeser dari masalah pertumbuhan ke masalah keadilan. Dengan demikian perlu ada re-orientasi kebijakan pemerintah yang lebih mampu menciptakan titik keseimbangan baru.
Arahnya agar bobot afirmasi kebijakan pemerintah pusat/daerah lebih jelas untuk good for the many people menjadi lebih produktif. Ini bukan isu baru dan jika sekarang ini dibahas di tingkat global, maupun nasional, maka dapat dikatakan sistem kebijakan ekonomi menghadapi tantangan berat.
Pertama, harus dikoreksi agar lebih menciptakan lingkungan yang makin berkeadilan dan good for the many people. Kedua, memerlukan konstruksi baru bahwa negara perlu hadir lebih memberikan perhatian maksimal pada tindakan afirmasi langsung atau tidak langsung untuk mengubah struktur ekonomi yang timpang.
Ketiga, para pemegang kekuasaan dan pengambil kebijakan harus bersifat legowo dan menerima kenyataan bahwa ekonomi pasar memang tidak bisa serta merta mampu menciptakan keadilan. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak dikapitalisasi pemodal dan ketidakseimbangan ini rawan konflik.
Data BPS terbaru tentang kinerja ekonomi 2016 mengkonfirmasi hal tersebut dimana jasa keuangan dan asuransi tumbuh 8,90%. Padahal distribusinya terhadap PDB hanya 4,2%. Tahun 2016 ekonomi tumbuh 5,02%, lebih baik dari tahun 2014 dan 2015, yakni masing-masing, 5,01% dan 4,88% tapi jomplang.
Kita sering diingatkan oleh berbagai pihak dari kalangan akademisi dan pemerhati masalah ekonomi yang dengan tekun memberikan ulasan tentang berbagai fenomena ekonomi. Antara lain misalnya keberhasilan berarti kesinambungan, kepantasan dan pembangunan demokrasi yang mengedepankan peningkatan taraf hidup, bukan hanya ukuran PDB.
Ulasan yang sudah berulang juga mengatakan PDB adalah alat yang mudah mengukur pertumbuhan ekonomi, tetapi bukan segala-galanya bagi sebuah pembangunan. Sebab itu harus berkesinambungan atau berkelanjutan.
Para pembuat kebijakan sebenarnya sudah tahu bahwa ekonomi pasar tumbuh tidak sehat. Karena itu muncul konsep Gross National Happines (GNH), yakni mencari strategi pertumbuhan untuk memperbaiki pendidikan, kesehatan dan kualitas hidup di pedesaan seperti di kota-kota.
Sebab itu, Indonesia kini mempunyai UU tentang Desa. Yang pasti mempunyai misi mulia untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat desa. Tahun 2017, alokasi dana pembangunan desa mencapai Rp 60 triliun. Kita harapkan tepat sasaran dan tidak dibuat bancaan politisi dan birokrat yang melakukan “konspirasi”.
Kita harus obyektif melihat negeri sendiri dan pemerintah juga sedang berusaha keras memperbaiki kondisi yang buruk menjadi lebih baik. Arahnya sudah benar, tinggal memerlukan langkah afirmasinya secara nyata.
Kita tidak sendirian menghadapi kesenjangan ini. Tapi bagaimanapun harus diatasi karena konflik selalu melibatkan si kaya dan si miskin dan ini merisaukan dan kritikal. Sekedar perbandingan, meskipun Tiongkok dan India telah meraih sukses yang luar biasa, kedua negara tersebut tidak dapat meneruskan apa yang telah mereka lakukan hingga saat ini.
Pemerintahnya masing-masing telah mencanangkan untuk tetap memfokuskan pada pembangunan sektor pertanian yang selama ini tumbuh sangat lambat. Tahun 2016 data BPS menyuguhkan informasi bahwa sektor pertanian tumbuh 3,29% dan berkontribusi terhadap PDB 13,45%.
Kita tentu bisa sepakat bahwa kesenjangan memang sudah mengglobal, tak terkecuali negeri ini juga berhadapan langsung dengan masalah kesenjangan ini. Pertumbuhan dan pemerataan adalah isu lama dan kontekstual hingga kini, sehingga kebijakan moneter dan fiskal harus bisa menjadi bagian dari solusi itu.
Kesenjangan di Indonesia bukan terjadi dalam hal antar kelompok pendapatan, tapi juga terjadi antar sektor dan antar wilayah. Semoga kita tidak lupa ingatan bahwa negeri ini adalah negara kesejahteraan yang dijamin oleh pasal 33 dan 34 UUD 1945. Bukan negara ekonomi liberal.
Pemerintah harus mengambil sikap untuk lebih banyak memberikan perhatian dengan memberikan stimulus ekonomi yang produktif untuk mengatasi berbagai kesenjangan.
Cara perancangan APBN/APBD di kementrian/lembaga harus dikontrol oleh menteri/kepala lembaga dengan menetapkan kebijakan anggaran yang bersifat produktif, konsumtif kecuali gaji upah sebaiknya digeser ke hal-hal yang sifat produktif.
Artinya outputnya terukur dan outcomenya dapat dirasakan masyarakat luas. Pembangunan inklusif harus menjadi arus utama kebijakan ekonomi nasional.
Peran pemerintah dalam negara ke ejahteraan (walfare state) adalah mengatur, membina dan mengembangkan kemampuan rakyatnya agar secara inklusif terlibat langsung dalam proses pembangunan bangsa.
Yang pantas difasilitasi adalah yang patut diafirmasi. Jadi ada deregulasi, harus ada pula afirmasi melalui regulasi agar terjadi titik keseimbangan secara proporsional dalam sistem ekonomi pasar sosial. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).