Biar Kapok Para Koruptor Wajibkan Saja Kerja Bakti
Oleh: Marto Tobing

Marto Tobing
BIAR kapok, para koruptor itu diwajibkan saja kerja bakti di tengah masyarakat terbuka. Sebab pola pendekatan efek jera ini pernah diterapkan pada masa pemerintahan orde baru. Waktu itu para terpidana diharuskan kerja bhakti secara bergiliran sesuai jadwal yang ditetapkan oleh Kepala Penjara (sekarang Lembaga Pemasyarakatan) Sidikalang Ibukota Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Tanpa kecuali, kala itu, setiap hari Senin para terpidana dikerahkan untuk kerja “rodi” kebersihan perkotaan Sidikalang. Sebagai antisipasi kemungkinan terpidana itu melarikan diri (kabur) petugas bersenjata laras panjang dikerahkan untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Selama kerja bhakti para terpidana itu diharuskan tetap menggunakan pakaian khas berwarna biru seragam para tahanan. Saat itulah para terpidana dapat merasakan betapa tidak enaknya ditatap langsung oleh masyarakat yang sedang melintas.
Tentu saja para terpidana akan merundukkan kepalanya dalam-dalam, pertanda rasa malu jangan sampai di antara warga yang melintas, ada yang mengenal mereka saat kerja “rodi” membersihkan selokan, memungut sampah yang berserakan, menyapu jalan raya dan macam-macam lagi disesuaikan dengan kebutuhan sebagaimana layaknya kebersihan dan kenyamanan lingkungan perkotaan. Tatapan warga yang melintas itu oleh para terpidana dirasakan sebagai beban yang sangat berat yakni MALU..!
Perasaan malu dipastikan ada karena psikologi itu adalah kodrat pada setiap manusia sebagai mahluk sosial. Perasaan serupa ini masih melekat pada diri setiap koruptor di masa pemerintahan orde baru beda mental dengan para elite era pemerintahan sekarang ini tak ada lagi rasa malu. Fakta kemudian jadi pertanyaan, bagaimana bisa para koruptor senyam-senyum sumringah-kan bibir ketika sadar figurnya akan disiarkan di berbagai media sebagai tersangka bahkan sebagai terpidana seribu kali tak ada perasaan malu.
Silahkan dipublikasikan seluas-luasnya, sang koruptor itu biasa-biasa saja di era reformasi sekarang ini. Apakah urat nadi rasa malu para koruptor itu sudah putus? Jawabannya pasti terpulang pada “gugatan” seberapa kuat komitmen bangsa ini di semua sektor kehidupan mau menyisihkan sedikit waktunya untuk berzikir fokus pada harkat dan martabat agar tidak terjerumus menjadi LUPUS.
Jari telunjuk isyarat ini tentu saja harus direspon oleh para elite birokrasi baik itu di jajaran eksekutif atau legislatif mau pun di jajaran judikatif. Tidak diposisikan lagi sebagai objek hukum, sejak divonis hukuman penjara, para terpidana itu menjadi subjek hukum sehingga jadilah mereka disebut-sebut sebagai “Warga Binaan”. Sebagai Warga Binaan maka pola pembinaan yang diterapkan seharusnya bisa menimbulkan efek jera, baik untuk diri sendiri juga bagi orang lain.
Lebih-lebih hukuman bagi para koruptor sedemikian ringan, di-per-enak lagi dengan berbagai fasilitas di lembaga pemasyarakatan termasuk mudahnya mengantongi remisi maka mentalitas elite menjadi anti korupsi bisa jadi ‘bak “Pungguk Merindukan Bulan” atau hanya sebatas “Angan-angan”. Pengecualiannya hanya dimungkinkan bila sebagai Warga Binaan saatnya diterjunkan untuk kerja bhakti di tengah lingkungan masyarakat terbuka, tentu saja dengan busana khasnya yang dipakaikan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni rompi warga orange. Sebab perbuatan para koruptor itu dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena telah merampas hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.
Padahal jagat raya ini telah mengenal Indonesia sebagai bangsa yang religius adalah hal yang tak terbantahkan. Namun tak terbantahkan pula, hasil survei Political & Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010 Indonesia berada pada peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7, 69 poin tahun 2009. Survei Internasional tahun 2011 menyimpulkan bahwa Indonesia berperingkat rendah dalam hal ketiadaan pemberantasan korupsi dan akses pada keadilan sipil. Untuk ukuran jagat raya,
Indonesia berada pada peringkat ke-47 dari 66 negara sebagai negara terkorup. Di kawasan Asia Pasifik Indonesia menempati peringkat 12 dari 13 negara . Berdasarkan UU No.31 Tahun 1999 jo UU. No.20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi (Tipikor) ditetapkan terdapat 30 jenis kejahatan korupsi. Jenis kejahatan masuk kategori korupsi dimaksud adalah menyangkut kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa serta gratifikasi.
Soal beban biaya sosial akibat korupsi menurut Brand and Price (2000) dapat diukur dari tigal hal yakni biaya antisipasi, biaya akibat dan biaya reaksi. Jika penuntutan terhadap terdakwa kasus korupsi telah mendasarkan pada biaya sosial korupsi, maka wacana memiskinkan koruptor sangat relevan untuk diterapkan. Sebab selain mempermalukan dengan pola kerja bhakti di tengah masyarakat terbuka, memiskinkan koruptor juga menjadi kunci keberhasilan memberantas kejahatan yang sangat luar biasa itu. ***