Berpolitik Itu Apa?

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

OPINI ini tidak akan membedahnya dari prespektif ilmu politik atau dari dimensi praktik politik. Sebuah pertanyaan, berpolitik itu apa? Opini ini akan mencoba melihatnya dari dimensi yang lebih bersifat subjektif, dalam artian menurut pemahaman dalam pikiran dan nurani pembuat opini.

Selama ini sering kita dengar bahwa berpolitik itu adalah soal kekuasaan. Oke ini tidak akan kita diskusikan karena tex book-nya barangkali seperti itu dan secara ilmiah dapat dipertanggungkanjawabkan. Secara persepsi pribadi yang bersifat subjektif, berpolitik itu sejatinya adalah bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bingkainya adalah hukum dan ketertiban (law and order).

Tujuannya dengan demikian mudah dirumuskan, yakni bagaimana agar kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bisa berjalan secara tertib dan tunduk pada aturan main yang disusun berdasarkan asas musyawarah mufakat. Lebih sederhana, jika kita menggunakan istilah guyub, maka berpolitik itu adalah sebuah konsep paguyuban.

Sesederhana apa pun adalah berarti harus ada organisasinya, ada pengurusnya ada sumber pendanaannya dan ada aturan mainnya secara internal. Bermasyarakat punya aturan main. Berbangsa dan bernegara juga punya aturan main, yang masing-masing bersifat mengikat agar kehidupannya bisa tertib dan teratur.

Kalau pengertian ini dikatakan bisa dianggap “lebih benar” dan secara objektif dapat diakui lebih tepat, maka berpolitik itu bukanlah soal kekuasaan. Lebih objektif bisa disebut sebagai sebuah pendekatan tatanan yang berdimensi moral/keimanan, kemanusiaan, kebersamaan, kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan yang semuanya bisa dirumuskan bersama melalui proses rembukan.

Upaya Bersama

Jadi, berpolitik itu bisa dipandang sebagai sebuah upaya bersama untuk membangun sebuah peradaban manusia agar hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi tertib, ada nilai kesantunan dan keadaban serta kemartabatan. Tampaknya, jika berpolitik itu dimaknai dan dipahami seperti ini, dunia ini akan damai, sejahtera, dan makmur bersama. Bermartabat dan beradab.

Berpolitik yang dimaknai secara praktis adalah kekuasaan, maka risikonya besar sekali karena bisa “destruktif” yang bisa merusak tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang lebih menghargai keadaban dan kemartabatan. Perang terjadi karena kekuasaan. Naluri kekuasaan nyaris tidak akan jauh dari persoalan ingin menguasai, memiliki, merebut, menyerang dan sebagainya dan pada ujungnya ingin diabadikan sebagai tokoh politik (kekuasaan) yang dianggap berhasil. Padahal, setelah itu timbul penderitaan dan kesengsaraan di pihak yang lain.
Soal Palestina dan Israel adalah soal tema politik kekuasaan, sehingga tidak pernah selesai. Soal Papua adalah soal politik kekuasaan, karena itu mudah “bergejolak”. Hegemoni AS adalah juga soal politik kekuasaan. Hasilnya di mana-mana adalah perlawanan (kasus Iran dan lain-lain).

Politik kekuasaan selalu berupaya untuk mencapai posisi zero sum game, meskipun sebenarnya tidak akan pernah terjadi karena zero sum game itu melanggar kodrat manusia dan kemanusiaan. Demikian opini ini disampaikan. Karena sifatnya subjektif dan tidak memiliki dasar keilmuan, maka pandangan ini tidak akan disimpulkan menjadi sebuah alternatif.

Ini hanya sebuah prespektif penalaran berbasis nurani. Semoga bermanfaat bagi bangsa dan negara yang pada tahun 2014 akan terjadi suksesi kepemimpinan nasional. Harapannya hanya satu, yaitu hiduplah bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sehat dan menyehatkan bagi kemajuan peradaban yang cara dan strategi pencapaiannya dilakukan secara bermartabat dan beradab. Dengan cara ini, mudah-mudahan perdamaian abadi di dunia akan dapat terwujud dan dapat menjadi bekal hidup yang damai dan abadi. ***

CATEGORIES
TAGS