Banyak Wilayah Memiliki Produk Unggulan di Luar Jawa Belum Dikembangkan Optimal
Oleh: Fauzi Aziz
RASANYA sebagian besar orang Indonesia tidak banyak yang tahu tentang isu mengenai wilayah dan tata ruang dalam pembangunan nasional. Masalah wilayah dan tata ruang sangat fondamental. Hampir semua rencana pembangunan tidak bisa dieksekusi karena persoalan wilayah dan tata ruang.
Ada wilayah dan tata ruang nasional, ada wilayah dan tata ruang propinsi dan ada pula wilayah dan tata ruang kabupaten/kota dan mungkin juga desa karena ada UU tentang Desa. Pembangunan terhenti karena “konflik kewilayahan dan tata ruang”.
Jeroannya kalau didalami memang ruwet. Apa yang kita tahu tentang pembangunan adalah hanya disisi hilirnya saja atau hanya dipermukaan saja. Kita tahunya persoalan lahan, ganti rugi/ganti untung, soal harga (NJOP atau harga pasar) atau berkaitan dengan aspek kepemilikan.
Ini saja sudah ruwet dan secara kasat mata hampir semua orang tahu karena hampir setiap hari bisa mengakses informasinya dengan mudah dan cepat. Nah begitu menyangkut soal wilayah dan tata ruang, masyarakat awam tak mau pusing. Itu urusan negara, urusan bapak-bapak pejabat .
Yang penting tempat kita berteduh tidak digusur. Lantas apa sejatinya masalah wilayah dan tata ruang ini. Mari kita kutip problemnya yang dapat dibaca dalam UU nomor 17 tahun 2007 tentang RPJPN tahun 2005-2025.
Tata ruang Indonesia saat ini dalam kondisi krisis. Mendengar kata krisis kita cukup ngeri. Kebayang oleh kita bahwa jika kondisinya benar-benar krisis berarti ada masalah besar di dalamnya dan ini bisa menjadi ancaman serius bagi bangsa ini.
Hal ini terjadi karena pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah masih sering dilakukan tanpa mengikuti rencana tata ruang, tidak mempertimbangkan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, serta tidak memperhatikan ke rentanan wilayah terhadap terjadinya bencana.
Jika ini salah satu masalahnya, kita dengan kasat mata bisa melihat bahwa bencana alam yang menimpa beberapa wilayah di Indonesia terjadi akibat salah urus wilayah dan tata ruangnya. Rakyat dan masyarakat terdampak menjadi korban.
Problemnya jika kita dalami lebih jauh, di dalam dokumen tersebut dapat diperoleh gambaran lain.Yakni di situ terjadi pelampiasan nafsu untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek oleh para invisible hand dan para “pemburu rente”.
Pertarungan saling melakukan aksi ambil untung ini menimbulkan nafsu untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara membabi buta dan berlebihan sehingga menurunkan kualitas dan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta memperbesar risiko timbulnya korban akibat bencana alam. Dan ini sudah terjadi selama ini.
Masalah wilayah dan tata ruang selain hanya menjadi permainan invisible hand, juga terlalu banyak tindakan premanismenya. Masalah lain paling seru adalah terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor dan yang sering muncul adalah masing-masing sektor menganggap dirinya paling prioritas dan penting.
Di balik itu, ada invisible hand yang bermain. Beberapa penyebabnya antara lain: 1) Belum tepat kompetensi sumber daya manusia dalam bidang pengelolaan penataan ruang.2) Rendahnya kualitas dari rencana tata ruang.3) Belum diacunya perundangan tata ruang sebagai payung kebijakan pemanfaatan ruang bagi semua sektor.4) Lemahnya penerapan hukum berkenaan dengan pemanfaatan ruang dan penegakan hukum terhadap pelanggaran atas pemanfaat ruang.
Sebagai tambahan informasi dari karut marut mengenai pengelolaan wilayah dan tata ruang tersebut antara lain banyak wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis di luar Jawa belum dikembangkan secara optimal.
Pelajaran paling berharga dapat kita tarik adalah masalah wilayah dan tata ruang menjadi tembok penghambat pelaksanaan pembangunan ekonomi di Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi akhirnya lebih dikuasai oleh pertumbuhan sektor jasa keuangan, perdagangan dan pengeluaran belanja konsumsi masyarakat.
Pertumbuhan sektor tradable selalu terganjal oleh persoalan wilayah dan tata ruang. Kalau pun bisa dibangun ongkos sosial, ongkos politik dan total biaya investasi menjadi mahal sehingga daya kompetitif sektornya menjadi rendah.
Sementara itu, karena pasokan dari dalam negeri terbatas dan harganya lebih mahal, konsumen akhirnya harus membeli barang impor. Jadi menurut hemat penulis, pertumbuhan ekonomi di Indonesia meskipun saat ini masih bisa tumbuh 4- 5%, biaya investasinya terlalu mahal.
Permasalahan wilayah dan tata ruang ini memang benar-benar kritis dan krisis karena pemerintah belum berhasil menanganinya secara optimal untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan, baik sosial maupun alam.
Penanganan yang bersifat ad-hoc lebih menonjol ketimbangan penanganan yang lebih fondamental dan holistik. Jadi pertumbuhan ekonomi domestik sumbat an utamanya terletak karena runyamnya pengelolaan wilayah dan tata ruang.(penulis ada pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).