Atasi Kemiskinan tidak dengan Kebijakan yang Bersifat Ad-hoc

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

SEBUAH pertanyaan besar yang harus jujur dijawab kita sendiri, baik yang kaya maupun si miskin adalah, apakah benar pendapat berbagai pandangan para ahli yang sebagian besar menyatakan miskin itu beban, sebab hanya sedikit yang memberikan jawaban miskin itu adalah sumber kekayaan potensial.

Pandangan yang mengatakan miskin itu beban, berarti mereka memandang kemiskinan itu adalah sebuah liabilitas, bukan aset yang dapat digerakkan sebagai energi positif untuk menggerakkan aktifitas produktif di masyarakat.

Opini ini tidak ingin memberikan jawaban atas pertanyaan besar tersebut. Tapi ingin memberikan cakrawala pandang agar kita dapat melihat secara obyektif apakah miskin itu benar hanya menjadi beban atau sejatinya miskin itu adalah aset potensial yang dapat didayagunakan.

Faktanya kemiskinan ada di sekitar kita dan terjadi hampir pada semua negara di dunia. Kalau miskin dianggap sebagai “beban”atau sebagai liabilitas, maka pada sisi lain aset dan liabilitas itu keduanya sebuah energi positif yang dapat difungsikan sebagai penggerak kegiatan produktif di masyarakat.

Dengan demikian keduanya bisa dikatakan tidak mengandung perbedaan dalam peran dan fungsinya. Keduanya jika dikelola dengan baik dan benar bisa digerakkan dalam waktu yang bersamaan untuk mendorong kemajuan bangsa dan negara. Dengan demikian, miskin dalam pandangan ini dapat diposisikan sebagai aset produktif, yang dalam jangka panjang diharapkan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan semua orang yang pada akhirnya mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi, baik ekonomi rumahtangga pribadi/keluarga maupun rumahtangga negara.

Tanpa harus membedakan si kaya atau si miskin, kita menyadari bahwa manusia di muka bumi mempunyai kedudukan yang sama sebagai mahluk Tuhan. Mereka memiliki kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang secara produktif di lingkungannya. Merekapun mempunyai bakat, talenta yang luar biasa di bidang apapun dan jika diasah, diasuh dan diberi akses dan kesempatan, pasti mereka dapat mengenyam kehidupan yang lebih layak.

Mereka akan bisa naik kelas dalam arti kehidupan sosial ekonominya akan makin bertambah baik. Secara demokratis, si miskin di negeri ini adalah juga pemilik kedaulatan. Tidak ada bedanya dengan warga negara yang lain. Hak-hak dasarnya secara konstitusi dijamin. Oleh karena itu, proses penguatan kepada si miskin agar menjadi aset potensial sangat penting dilakukan.

Kemiskinan sejatinya bukan untuk diberantas, tapi yang lebih mulia adalah dikuatkan agar potensinya dapat diubah menjadi aset produktif. Progam yang dilaksanakan pemerintah melalui APBN untuk menanggulangi beban hidup bagi orang miskin melalui pola subsidi harga atau subsidi langsung ke kelompok sasaran, sebenarnya tidak tepat karena bersifat konsumtif.

Kebijakan ini muatan politisnya lebih menonjol dan bersifat ad hoc. Sementara itu, yang lebih fondamental sebenarnya oleh UUD 1945 sudah ada pengaturannya yang berkaitan dengan hak-hak dasar warga negara agar manusia Indonesia dapat hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Mampu mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya. Mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia dan lain-lain sebagaimana diamanatkan dalam bab XA.

Bercermin dari semangat ini, berarti semua warga negara Indonesia tanpa pilih bulu pada dasarnya adalah aset potensial yang berharga sebagai faktor pendorong kemajuan bangsa dan negara. Mereka berhak naik kelas dalam kehidupan material, spritual dan emosionalnya. Dalam konteks yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, dapat disimpulkan miskin itu tidak boleh dianggap sebagai beban, tetapi harus tetap dipandang sebagai aset potensial.

Karena itu yang benar adalah bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar menjadi kewajiban negara untuk memeliharanya (pasal 34 ayat (1) UUD 1945). Itupun negara masih punya tanggungjawab untuk memberdayakan (empowering) masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaanya (pasal 34 ayay (2) UUD 1945).

Dalam konteks pelaksanaan pasal 4 ayat (1), semestinya pemerintah dan DPR membuat UU tentang bagaimana negara melaksanakan kewajibannya memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar agar ada kepastian hokum dan anggaran yang dibutuhkan untuk itu masuk dalam APBN/APBD.

Jika kita sepakat dengan premis ini, maka harus ada kebijakan dan strategi negara yang bersifat komprehensif untuk memberikan perkuatan kepada kelompok masyarakat miskin sehingga kehadirannya bisa benar-benar menjadi aset potensial yang diperlukan dalam pembangunan di segala bidang.

Masalah kemiskinan tidak bisa diatasi hanya mengandalkan jika pertumbuhan ekonomi sebuah negara tumbuh positif setiap tahun. Pun tidak bisa diatasi dengan menerapkan kebijakan dan progam yang bersifat ad-hoc.

Inilah esensi dari konsep negara kesejahteraan. Anggota. DPR di pusat/daerah harus dapat memahaminya secara substansial tentang isu-isu penting yang patut digarap melalui legislasi nasional untuk mewujudkan cita-cita membangun negara kesejahteraan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS