Apa Sejatinya yang Terjadi di Pelabuhan Priok
Oleh: Fauzi Aziz
YANG saat ini baru diramaikan soal dwelling time. Dalam pemberitaan di media, masalah ini sudah berlangsung hampir sepekan. Muncul indikasi awal bahwa tempat penimbunan kontainer telah menjadi “gudang”, karena tarif sewanya ternyata dikonstatir lebih rendah dari tarif di mal-mal di Jakarta.
Kita tidak tahu lagi apa indikasi berikutnya yang akan muncul. Yang pasti, salah-menyalahkan antara berbagai pemangku kepentingan sudah mulai tampak yang merupakan kondisi yang biasa terjadi di negeri ini jika ada masalah strategis muncul di ruang publik. Di lapangan, juga makin tak terkendali harga kebutuhan pokok yang meroket terus.
Pemerintah, katanya, akan fokus stabilkan pasokan dan harga enam bahan pangan. Alatnya apa kita belum tahu. Tapi, kira-kira tidak jauh dari rencana untuk menambah pasokan impor. Ini yang maksimal dapat dilakukan. Di lembaran masalah lain, kita mendapatkan sebuah realitas bahwa kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar sudah mencapai Rp 10.000, meskipun kurs tengah BI dicatatkan pada kisaran Rp 9.970 pada Rabu, 10 Juli 2013.
Bunga kredit mulai naik, umumnya untuk kredit korporasi dan ritel. Itulah sederet informasi yang beredar di berbagai media sampai Kamis, 11 Juli 2013. Secara singkat isunya dapat diracik menjadi kongesti di Priok, Pantura ngadat, kurs rupiah terhadap dolar meroket, harga kebutuhan pokok naik, bunga kredit naik, pemerintah lagi sibuk mencari solusi (tapi, tampaknya akan menambah impor) dan ujungnya sudah pasti inflasinya naik.
Di bolak-balik pakai teori sebab-akibat hasilnya sama saja. Catatannya buat kita adalah bahwa Indonesia sebagai penganut sistem ekonomi terbuka yang meliberalisasi pasar modal dan pasar finansialnya, serta pasar barang dan jasanya cukup dibuat kedodoran ketika terjadi gejolak pasar. Sebagai penganut mekanisme pasar yang taat, ternyata, ketika pasar bergerak liar, pemerintah tidak/belum memiliki instrumen pengendali pasar yang cukup andal untuk dapat segera meredam gejolak.
Operasi Pasar
Early warning-pun kelihatannya kurang bekerja dengan baik, kalau tidak mau disebut tidak berfungsi. Mengenai remedy-nya yang selalu kita lihat hanya ada 2 yang sering digunakan, yaitu operasi pasar dan menambah pasokan impor. Kedua alat ini mari kita lihat sekilas situasinya. Operasi pasar hanya bisa dilaksanakan secara terbatas dan efeknya pada penurunan harga dan pasokan hanya hujan lokal, yaitu terjadi di lokasi di mana operasi pasar dilakukan. Impor kalau sekarang harus dilakukan juga bukan waktu yang tepat, karena posisi kurs rupiah tidak menguntungkan untuk mengimpor bahan kebutuhan pokok.
Belum lagi faktor harga dan pasokan di negara asalnya, apakah cukup memberikan ruang untuk mendapatkan barang tepat waktu dan tepat harga dan pasokan. Pertanyaan berikutnya, siapa yang harus melaksanakan impor, apakah importir umum, importir terbatas, atau Bulog dan apakah pengimporannya memakai sistem kuota atau bebas kuota. Kita tidak tahu apa langkah yang akan diambil oleh pemerintah.
Proses itu pasti akan memakan waktu panjang sejak perencanaan dan pelaksanaan impor. Jangan-jangan barangnya baru bisa masuk setelah puasa dan Lebaran lewat. Dan saat tiba di Priok ketemu lagi dengan persoalan dwelling time. Lingkaran setannya seperti itu dan semua masalah di negeri ini sebenarnya bukan isu musiman, tapi sudah sangat struktural dan fundamental. Tidak bisa dipecahkan secara ad-hoc terus-menerus kalau masalah yang terjadi bersifat fondamental.
Apalagi di negeri ini kalau ada masalah yang ditangani secara ad-hoc yang berminat untuk nimbrung mendapatkan untung biasanya banyak, seperti kasus impor daging sapi dan yang lain. Kita tidak mengharapkan kasus kongesti di Priok kemudian bisa berkembang menjadi isu yang seakan-akan sengaja diciptakan untuk menimbun sementara kontainer yang masuk. Kita tidak berharap isunya menjadi berkembang ke arah perbuatan yang dinilai melanggar hukum. Kalau kita mau berpikir nakal, jangan-jangan gudang-gudang di luar milik pedagang/importir sudah kepenuhan barang, sehingga sementara ditumpuk di Pelabuhan Priok.
Spekulasinya bisa menjadi seperti itu. Dan rasanya, pemerintah harus sungguh-sungguh mengusut benang merahnya secara tepat dan benar untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi riil di negeri. Yang pasti ada 3 isu besar yang sudah banyak dikeluhkan, yaitu masalah infrastruktur ekonomi yang buruk, masalah pelayanan publik yang tidak efisien, dan masalah koordinasi di tingkat kebijakan dan pelaksanaan yang tak kunjung baik.
Kita juga patut bertanya, bagaimana pelaksanaan sistem National Single Window (NSW) yang sepertinya juga “mati suri”? Masalah di Priok harus dilihat dengan kepala dingin yang ujungnya jangan sampai terjadi hanya sekadar akan berakhir dengan pencopotan pejabat yang dianggap bertanggung jawab, tetapi masalah pokoknya tidak terselesaikan. ***