Ada Repatriasi Masuk,Ada yang Keluar
Oleh: Fauzi Aziz
INDONESIA salah satu negara yang masih menganut sistem devisa bebas sehingga uang atau valuta asing “bebas” keluar masuk di negeri ini. Hari ini masuk Rp 5 triliun dan pada hari yang sama pada jam sama atau berbeda bisa saja ada uang/valuta asing keluar dari negeri ini sebesar Rp 7 triliun.
Kondisi pasar finansial semacam ini yang membuat stabilitas nilai tukar terhadap mata uang asing, bergerak naik turun mengikuti mekanisme pasar. Uang/valuta asing yang bergerak bebas masuk ke pasar finansial dan pasar modal membuat stabilitas moneter dan ekonomi tidak bisa selalu terjaga karena keterbatasan intervensi moneter yang dilakukan BI sebagai pemegang otoritas moneter di negeri ini.
Kini kita dihadirkan sebuah kebijakan tax amnesty yang bertujuan ganda, peningkatan penerimaan pajak sekaligus aset milik WNI di luar negeri mau mudik melalui repatriasi (masuk dari luar ke dalam negeri) karena itu tarif pajak melalui progam tax amnesty direndahkan dalam jangka waktu sampai bulan Maret 2017.
Dana tebusan yang masuk diharap kan mencapai Rp 165 triliun dan dana repatriasi yang masuk Rp 1.000 triliun, setara dengan kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur setahun dari yang direncanakan Rp 5.000 triliun dalam waktu lima tahun hingga akhir tahun 2019. Sementara itu, dana repatriasi (berupa keuntungan PMA ) yang dikirim ke negara asalnya dan ini tidak ada pembatasan yang boleh dibawa keluar karena Indonesia menganut rezim devisa bebas.
Fakta ini yang dapat kita lihat. Dan inilah mengapa WNI merasa aman menyimpan aset likuidnya di luar negeri karena kebijakan nasionalnya memberikan kebebas an. Kebebasan ini juga akhirnya dimanfaatkan PMA yang beroperasi di Indonesia melakukan repatriasi keuntungannya ke negara asalnya masing-masing, meskipun pajaknya dibayar di Indonesia.
Sistem devisa bebas yang kita anut selama ini yang menjadi musabab di dalam negeri terjadi “pengeringan likuiditas” dalam valuta asing sehingga stabilitas nilai tukar tidak bisa terjaga dalam kurun waktu yang lama karena kebutuhannya tidak bisa distop.
Kalau Indonesia memerlukan likuiditas dan cadangan devisa yang besar, rezim devisa bebas semestinya diubah menjadi rezim devisa kontrol. Kebijakan ini dalam prakteknya akhirnya hanya memberikan keleluasaan luas kepada investor yang bermain di pasar uang dan pasar modal.
Dalam prakteknya mereka bermain di instrumen tersebut ada yang bersifat spekulatif, trading dan investasi yang umumnya berjangka pendek. Akibatnya likuiditas yang masuk hanya mampir sebentar dan sangat sedikit, malah hampir tidak ada yang terkonversi ke dalam investasi pisik.
Wajarlah kalau sumbangan investasi pisik dalam PDB rata-rata hanya 30% per tahun. Ini terjadi karena dua hal, yakni Indonesia masih menganut rezim devisa bebas dan iklim investasi di Indonesia belum kondusif.
Hal ini ditandai izin investasi yang dikeluarkan BKPM untuk PMA berhenti hanya di izin prinsip. Sementara yang terealisir menjadi produksi komersial hanya 30%. Pada sektor PMDN nasibnya kurang lebih sama yang ditandai dengan menurunnya kredit perbankan yang selama ini bisa tumbuh rata-rata 18-20%,sekarang ini hanya bisa tumbuh pada kisar an 7-10%.
Karena itu Menteri Keuangan dan Gubernur BI BI mengatakan target pertumbuhan ekonomi tahun 2016 sebesar 5,2% sulit tercapai. Gubernur BI melakukan koreksi atas target tersebut yang diperkirakan hanya akan mencapai 5,05%.
Hal yang terkait dengan dana repatriasi WNI di luar negeri yang dikaitkan dengan progam tax amnesty bersifat sementara karena hanya berlaku sampai Maret 2017 meskipun yang tersimpan di bank persepsi harus ngendon sampai 3 tahun dan setelah itu bisa ditarik kembali oleh pemiliknya, termasuk bisa disimpan lagi di luar negeri karena kita masih menghormati rezim devisa bebas.
Begitu pula dana repatriasi keuntungan PMA masih mengenyam kebebasan dibawa pulang ke negara asalnya. Dan ini berlangsung karena Indonesia menganut rezim devisa bebas. Padahal kalau ada aturan keuntungan PMA sebagian harus diinvestasikan kembali di sektor bisnisnya di Indonesia, upaya ini akan membantu mengatasi masalah pelambatan pertumbuhan investasi di dalam negeri.
Repatriasi aset bisa terjadi dari yang ada di luar diundang mudik dan yang ada di dalam diminta balik ke negara asalnya karena mereka juga memerlukan tambahan likuiditas.
Bagaimana ke depannya mengenai repatriasi ini, baik yang masuk maupun yang keluar, jawabannya dana repatriasi akan tetap hilir mudik mengikuti hukum pasar dan rezim devisa bebas makin mempermudah arus hilir mudiknya dana milik WNI/WNA atau milik PMA/PMDN bahkan milik BUMN yang betah disimpan di luar negeri maupun di dalam negeri.
Investasi penting dan repatriasi juga diperlukan karena berfungsi sebagai salah satu sumber pendanaan dana investasi. Namun Indonesia perlu meninjau kembali kebijakan rezim devisa bebas menuju sistem manajemen devisa yang terkelola demi menjaga stabilitas ekonomi nasional. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).