Transformasi Ekonomi Pedesaan
Oleh: Fauzi Aziz
DESA adalah tempat asal kita. Penduduk perkotaan berasal dari wong ndeso yang ngenger mengais rejeki di kota. Ada di antara mereka sukses meraih berbagai gelar seperti Dr, Ir, Drs dan sebagainya. Namun tidak sedikit yang gagal sehingga menjadi beban perkotaan.
Desanya sendiri tetap eksis dan hanya ditengok minimal sekali setahun melalui tradisi mudik. Ada transformasi ekonomi, tetapi sifatnya sesaat dan konsumtif. Bank Indonesia sampai harus menyediakan likuiditas yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah untuk keperluan sepekan selama masa mudik.
Pemerintah dan masayarakat berharap agar transformasi ekonomi di pedesaan bisa terjadi. Kalau kita berkiblat ke Tiongkok, Deng Xiaoping adalah penggagas orisinil mengubah Guang Dong menjadi pusat industri China, yang memproduksi massal barang-barang murah untuk mencukupi kebutuhan pasar global.
Desa di Indonesia menjadi pusat mudik dan pusat kuliner tradisional. Hampir sebagian besar penduduk desa dalam ke-glamour-an perkotaan sekarang ini bermata pencaharian menjadi produsen dan penjaja makanan tradisional. Dan ketika musim mudik tiba, kapitalisasi pasarnya lumayan besar, karena mampu menyedot likuiditas cash yang berputar di pedesaan saat mudik.
Shenzhen juga adalah sebuah desa kecil nelayan yang sunyi, tetapi letaknya dekat Hong Kong. Ketika Deng Xiaping menetapkan Shenzhen sebagai salah satu Zona Ekonomi Eklusif tahun 1980, desa ini tumbuh pesat. Penduduknya naik dari 13.000 menjadi 11 juta jiwa. Sekarang Shenzhen menjadi salah satu dari empat kota pelabuhan kontainer tersibuk di dunia.
Hal yang disampaikan ini bukan untuk dicopy paste seperti apa adanya untuk melakukan transformasi ekonomi pedesaan di Indonesia karena banyak sekali faktor yang membentuknya. Transformasi ekonomi desa di Indonesia mesti diformat sesuai kondisinya.
Indonesia pernah mencoba menerapkan progam one village one product. Progam ini bagus. Tapi tidak memunculkan diri sebagai model yang berhasil. Sekarang sudah ada UU tentang desa menata kehidupan desa menjadi lebih baik. Progam pembangunan desa yang didukung dana APBN per desa sekitar Rp 1 miliar sedang bergulir. Tapi model pembangunannya seperti apa masih samar- samar terdengar.
Transformasi ekonomi desa bukan perkara mudah. Mau dibentuk menjadi seperti apa, pasti memerlukan perencanaan yang matang dan kepemimpinan yang kuat, bukan hanya oleh kepala desa, tetapi lebih pas jika dipimpin oleh tokoh berpengaruh di desa.
Transormasi ekonomi desa hakekatnya gabungan dari proyek politik, ekonomi dan sekaligus proyek budaya. Ukurannya bukan sekedar penggelontoran dana besar ke desa, karena transfor masi ekonomi desa bersifat kompleks.
Payung besarnya adalah pembangunan Ekonomi Rakyat. Jadi pendekatan tranformatifnya berbasis pada kegiatan ekonomi rakyat yang kini sudah ada, dengan menekankan pada nilai dimana bumi dipijak,di situ langit dijunjung.
Contoh Desa Kemasan. Nama ini melekat sebagai indikasi bahwa desa ini basis kegiatan ekonominya adalah perajin/pembuat kerajinan emas. Begitu pula Desa Kemplong di Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, adalah kampung batik yang stok keterampilannya tak pernah habis.
Ada lagi desa Tatem. Di desa itu rakyatnya menjadi perajin tahu dan tempe. Secara geografis, petanya sudah ada, tinggal perlu sentuhan tekno ekonomisnya saja yang terkait dengan aspek manajemen dan organisasi.
Pendekatannya kita sebutlah empang. Satu empang mempunyai rencana transformasi ekonominya masing-masing karena kebutuhannya spesifik. Transformasi ekonomi desa dengan demikian tidak bisa dilakukan secara accros the board, atau menggunakan pendekatan “progam sapujagat” karena pemerintah mengalokasikan dana desa dalam jumlah besar.
Pertanyaannya, jangan-jangan hanya dipakai untuk menghimpun masyarakat desa menjadi pendukung calon pilpres tahun 2019. Maaf bukan menuduh, tetapi belajar dari pengalaman yang sudah-sudah kabar semacam ini selalu muncul.
Itulah sebabya, mengapa istilah proyek politik seringkali kita gunakan dalam banyak tulisan. Pesannya sederhana, yakni transformasi ekonomi pedesaan harus berjalan karena pada era teknologi informasi dan era digitalisasi antara kota dan desa sudah flat.
Gaya hidup masyarakat kota dan desa nyaris tidak berbeda. Desa adalah lumbung produksi dan kota sebagai lumbung distribusi barang dan jasa. Dan keduanya hidup dalam satu klaster. Jadi desa dan kota secara tekno ekonomi harus terintegrasi.
Transformasi ekonomi pedesaan harus berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kita tidak perlu mengubah desa kita seperti Shenzhen di Tiongkok. Kita berharap dimana ada penduduk bermukim, penduduk itu diupayakan memberikan sumbangan pada ekonomi desa/kampong atau di kecamatan atau kabupaten/kotanya.
Di desa berarti perlu semacam “zona ekonomi khusus” seperti contoh-contoh tadi. Interaksi sosial bisa tetap terjaga, ketimbang disulap menjadi zona baru. Ayo kembali ke desa untuk membangun desa. Desa menjadi lumbung pangan, tanaman holtikultura, sumber persemaian seni dan budaya lokal serta kearifan lokal. Desa menjadi tempat rest and relax ketika penat di kota yang dikelilingi hutan beton.
Pendek kata, transformasi ekonomi pedesaan perlu dibangun dengan semangat modernitas dengan takaran yang pas, selaras dengan warisan budaya. Jangan sekali-kali berfikir mengubah desa menjadi zona hutan beton. Semangat green, space and peace harus menjadi ciri modernitas tersebut. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).