Tolak Putusan MA Soal Usia Calon Kepala Daerah, Sarat Kepentingan Politik
JAKARTA, (tubasmedia.com) – Putusan Mahkmah Agung (MA) telah mengubah syarat batas usia minimal calon di Pilkada, dari yang semula 30 tahun ketika ditetapkan sebagai calon, menjadi 30 tahun ketika dilantik. Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Se-Indonesia (AMHTN-SI) mengkritik putusan MA tersebut.
“Putusan MA tentang perubahan syarat umur usia kepala daerah itu problematik dan sarat kepentingan politik,” kata Koordinator Kajian Strategis dan Analisis Kebijakan Publik AMHTN-SI, A Fahrur Rozi, dalam siaran persnya, Jumat (31/5/2024).
Rozi menyebut bahwa putusan yang mengubah klausul penghitungan umur syarat pencalonan kepala daerah itu sebagai bentuk rekayasa konstitusional yang terencana dan sistematis.
“Ini kedua kalinya rekayasa semacam ini menggejala dalam sistem pengadilan setelah putusan 90/PUU-XXI/2024 kemarin, rekayasanya sangat mirip dengan tragedi putusan yang terjadi di MK,” katanya.
Menurut Rozi, terdapat dua persoalan yang problematik dalam putusan ini. Pertama, tidak adanya isu konstitusional materiil pasal yang diuji dalam peraturan KPU. Tidak ada satupun pasal undang-undang yang bisa menjadi alat ukur konstitusionalitas dari pasal yang diuji.
“Ini harusnya ditolak dan dinyatakan tidak berlasan menurut hukum mengingat norma substantifnya tidak memiliki isu konstitusional di dalamnya,” kata mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah ini.
Kedua, penghitungan syarat usia sejak pelantikan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Hal ini, kata dia, karena posisi pelantikan tidak dapat dipastikan karena menyesuaikan dengan jadwal presiden.
“Memaknai ulang suatu rumusan norma hukum dengan norma baru yang tidak memiliki validasi kepastian hukum dapat batal secara hukum dengan sendirinya,” ungkap dia.
Menurut dia, dalil gugatan dan pertimbangan hakim dalam putusan MA tersebut sangatlah tidak logis. Putusan itu, lanjutnya, lebih didominasi dengan kepentingan politis dan musiman. Sebab dengan norma itu, KPU tentu tidak dapat mengidentifikasi apakah suatu calon kepala daerah memenuhi syarat formil atau tidak jika metode penghitungannya disandarkan pada kondisi yang tidak pasti.
Lembaga peradukan seperti MK dan MA untuk perlu lebih menahan diri dari aktivitas yudisialisasi politik.
“Sangat susah membantah kalau memang putusan ini adalah bentuk rekayasa hukum untuk kepentingan politik calon tertentu,” kata Rozi. (sabar)