Tantangan Krusial Industri Baja Nasional
Laporan: Redaksi
JAKARTA, (tubasmedia.com) – Industri baja nasional tumbuh sangat pesat, namun konsumsi baja nasional kita masih sangat rendah, antara lain, baru 40 kg per kapita sementara negara maju sudah mencapai konsumsi 600 kg per kapita. Konsumsi dalam negeri kita baru mencapai 6 juta ton per tahun, seyogianya sudah mencapai 12 juta ton.
Banyak tantangan krusial dalam pengembangan industri baja nasional, antara lain, kita masih tergantung impor bahan mentah. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Dirjen BIM Kemenperin) Harjanto dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Industri (Forwin) di Gedung Kemenperin, Senin (5/5/2014).
Forum diskusi dengan tema “Prospek dan Tantangan Industri Baja Nasional” itu dihadiri oleh narasumber Dirjen BIM, Asosiasi Industri Baja (The Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA), pelaku usaha dari PT Gunung Gahapi (Gunung Garuda Group), serta sekitar 40 wartawan yang biasa meliput berita di lingkungan Kemenperin.
Sebab itu, kata Dirjen BIM, pemerintah berupaya untuk memperkuat industri hulu baja dalam negeri meskipun ditantang oleh kenaikan tarif energi listrik sampai 30 %. “Hal itu akan kita relaksasi dengan kompensasi keringanan pajak dengan menunda pembayaran. Tapi, ini masih dalam kerangka usulan Direktorat kami,” kata Harjanto. Buktinya, katanya lagi, tahun 2013 lalu industri baja bertumbuh 10,7 persen.
Dirjen BIM Harjanto mengakui, sampai tahun 2012 investasi mencapai US$ 4,6 miliar ditambah Rp 588 miliar dalam bentuk rupiah. Investasi itu akan cepat mencapai return of investment (ROI) kalau konsumsi dalam negeri bertumbuh.
Sementara itu, Dr Basso Datu Makahanap, dari IISIA berpendapat, kenaikan konsumsi baja per kapita akan mendorong berkembangnya industri baja nasional. “Tapi, yang jelas, kapasitas industri nasional masih jauh di atas kenyataan produksi nasional. Produksi lokal Indonesia baru mencapai 30 persen, sedangkan 60 persen lebih masih impor. Jadi, ketergantungan kita terhadap baja impor masih sangat tinggi,” kata Basso dari Asosiasi.
Basso mengusulkan, untuk mengembangkan industri baja nasional agar ketergantungan terhadap impor berkurang, maka pemerintah pertama-tama harus memberikan peluang kemudahan mendapatkan modal dari perbankan dengan bunga yang rendah dan memberi lahan yang luas untuk infrastruktur insdustri baja. “Industri baja memerlukan lahan yang luas,” katanya lagi.
Kehilangan Induk
Sebagai pelaku usaha industri baja nasional, PT Gunung Garuda merasa seperti kehilangan induk. “Kami sebagai industri baja merasa seperti tidak mempunyai bapak, karena ketika kami dicekal di Bea dan Cukai dengan alasan perusahaan mengimpor limbah B-3, tidak ada yang membela kami. Padahal, kami mengimpor bahan baku,” kata Ketut Setiawan dari PT Gunung Garuda
Ketut Setiawan mengakui, perusahaannya mengimpor bahan baja boron untuk bahan campuran peleburan bahan baku yang dipanaskan sampai 1.600 derajat Celsius dengan mesin dari Jerman. Buangannya memang menjadi limbah, tinggal ditangani sebagai limbah. Namun, bukan baja boronnya yang menjadi limbah. Hal itu terjadi karena ada peraturan pemerintah yang menyatakan itu sebagai limbah. Dan Kementerian Lingkungan Hidup berpegang pada PP itu sebagai dasar menindak.
“Sampai saat ini masih tertahan barang kami sebanyak 524 kontainer. Kami dikenakan biaya penyimpanan, sehingga makin lama harga barang impor itu makin tinggi sampai tidak masuk akal lagi untuk memprosesnya. Tapi, tidak ada pihak yang membantu kami untuk mengeluarkan barang itu dari Bea dan Cukai,” katanya.
Dirjen BIM merasa tetap melindungi industri manufaktur, seperti industri baja nasional, namun memang ada yang harus diluruskan. (apul)