Singkong Diimpor? Aneh bin Ajaib

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

KITA menjadi risau tatkala beras harus diimpor padahal sebelumnya Indonesia pernah berswasembada beras. Kita menjadi galau ketika garam, singkong dan produk holtikultura lainnya juga harus diimpor. Aneh bin ajaib, tapi itu realitasnya.

Republik ini punya kementerian yang ngurusin garam dan pertanian. Orangnya hebat-hebat bergelar master, doktor dan bahkan profesor, tapi lucunya mereka ikut terkaget-kaget. Di lain pihak APBN-nya termasuk yang mendapat alokasi yang tidak sedikit.

Ahli-ahli pertanian yang tersebar di berbagai perguruan tinggi juga ikut-ikutan resah, lucu jadinya. Adakah yang salah? Dana besar nggak nampak hasilnya dan celakanya kalau bisa diperbesar lagi supaya lebih punya tenaga untuk mengakselerasi pertumbuhan sektor pertanian di negeri ini.

Duit seolah-olah segalanya. Ada duit, pertanian akan maju, tak ada duit pertanian akan tersungkur dan terperosok dalam lumpur. Kondisi yang seperti itu pasti akan menjadi beban nasional karena cadangan devisa pada akhirnya akan terkuras hanya untuk mengimpor barang yang semestinya tidak perlu dilakukan akibat kebijakan dan progam di sektor pertanian dilakukan setengah hati.

Di balik kerisauan tersebut ternyata masih ada secercah harapan dan ada tren baru untuk mengubah paradigma pembangunan di sektor pertanian dengan cara berinvestasi. Beberapa bulan yang lewat melalui media Kompas (8 Juni 2012) dilansir ada sosok pemuda di Batang Jateng secara penuh perhitungan melakukan kegiatan bac to farming dengan cara menginvestasikan dana senilai Rp 1 miliar untuk menyewa lahan persawahan seluas 24 ha.

Singkat cerita, dia mendapatkan berkah dari hasil investasinya karena berhasil mendapatkan untung dan meningkatkan produktivitas tanamannya. Yakinlah yang seperti itu bukan dia satu satunya, pasti ada generasi muda yang lain di berbagai daerah di Indonesia untuk melakukan hal yang sama dengan cara yang berbeda.

Kita patut berbangga tatkala sebagian anak muda Indonesia berimigrasi ke kota-kota besar untuk mengadu nasib, ternyata ada sosok wirausaha muda yang mau kembali ke desa dan mengembangkan bisnis tanaman pangan. Amazing kata mas Tukul di acara “bukan empat mata”.

Pemerintah/Pemda dan lembaga pembiayaan mesti sigap mencermati dan merespon arah baru dan tren yang berkembang. Jangan dihambat sepak terjangnya dan berikan jalan terang yang terbaik buat mereka. Berikan akses yang seluas-luasnya ke sumber pendanaan, teknologi dan bibit.

Pasar produk pertanian dan pangan pada khususnya, volume dan nilainya pasti besar dan captive banget. Mereka pasti berkemampuan untuk mengembangkan jaringan bisnisnya asal diberikan peluang dan kesempatan. Jangan sampai keliru meresponnya dalam bentuk kebijakan maupun progamnya.

Mereka tidak mengakuisisi lahan milik petani, tetapi mereka melakukan pola sewa dan bagi hasil sambil berusaha meningkatkan produktivitas hasil per hektare-nya. Semangat yang seperti itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 33 dan 34 UUD 1945. Ini sebuah harapan baru yang menjanjikan agar Indonesia bisa terbebas dari ancaman krisis pangan dunia.

Kita perlu segera melakukan langkah positioning di bidang pertanian agar negeri ini tidak terlambat dan menjadi korban jika krisis pangan benar-benar terjadi akibat tidak sigap merespon fenomena yang terjadi dan akan terus berlangsung. Lumbung-lumbung pangan harus tumbuh di seantero nusantara secara merata agar kita benar-benar memiliki ketahanan pangan yang semestinya dengan melibatkan para wirausahawan muda sebagai aktornya.

Jangan buru-buru mengundang investor asing atas nama pengembangan agro estate, rice estate, soyabeen estate dll. Kalau itu terjadi, maka berarti kita kembali lagi ke zaman VOC yang hampir 350 tahun bercokol mengangkut hasil bumi ke ropa.

Wassalam kata almarhum Asmuni kalau hal yang demikian terjadi. Artinya kita tidak akan berdaulat di sektor pangan. Para ahli sudah memberikan warning bahwa dewasa ini telah terjadi un balancing pangan di dunia (demandnya lebih besar dari supplynya).

Tahun 2010 yang lalu, indeks 55 komoditas pangan dunia meningkat menjadi 214,7 melampaui rekor tertinggi yang pernah terjadi di tahun 2008, yakni 213,5. Harga-harga pangan akan mengalami kenaikan akibat situasi yang un balance tadi, seperti harga beras, jagung, kedelai gandum dan jenis produk lainnya.

Kebutuhan beras dunia pada tahun 2005 mencapai 800 juta ton/tahun, dimana kemampuan produksinya hanya sekitar 600 juta ton /tahun. Melihat kondisi yang seperti ini, maka langkah bjaksana yang harus diambil adalah go to hell liberalisasi pangan agar kita dapat berhasil membangun kedaulatan pangan yang kuat dan berkelanjutan.

Stimulus fiskal dan moneter harus diarahkan untuk mendukung progam pembangunan sektor pangan yang berdaulat, baik di tingkat on farm maupun off farm. Di sektor pangan sasaran yang kita tuju minimal bisa menghasilkan surplus dalam jumlah yang masif, syukur bisa berswasembada. ***

CATEGORIES
TAGS