Simalakama APBN Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal
Oleh: Fauzi Aziz
PERTAMA, kebijakan fiskal yang instrumen utamanya berupa APBN adalah satu perangkat kebijakan ekonomi makro untuk mencapai berbagai sasaran pembangunan, yang mencakup : 1) fungsi alokasi anggaran untuk tujuan pembangunan. 2) fungsi distribusi pendapatan dan subsidi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 3) fungsi stabilisasi ekonomi makro dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi.
KEDUA, sebab itu, pengeluaran belanja pemerintah menjadi salah satu pembentuk PDB ekonomi yang penting, selain pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor neto ( ekspor-impor barang dan jasa).
Meskipun sumbangan belanja pemerintah terhadap PDB hanya sekitar 10%, tapi ketika ekonomi tumbuh lambat atau terjadi resesi seperti sekarang ini, APBN menjadi katub pengaman bagi penyelamatan perekonomian nasional.
Peran dan fungsi yang paling utama didaya gunakan adalah fungsi distribusi pendapatan, dan subsidi untuk kesejahteraan rakyat, dan fungsi stabilisasi ekonomi makro. Sedangkan fungsi alokasi anggaran untuk tujuan pembangunan, mestinya tidak menjadi prioritas. Sehingga berbagai proyek pembangunan fisik, seperti infrastuktur seharusnya ditunda karena ruang fiskalnya menjadi sangat sempit.
Dan bila dipaksakan semua proyek fisik harus dibangun di saat ruang fiskal yang terbatas, maka bisa menimbulkan gangguan serius pada keuangan negara. Bahkan bukan tidak mungkin, pemerintah bisa mengalami gagal bayar atas surat-surat utang yang diterbitkannya.
KETIGA, dalam suasana pandemi covid-19 dan resesi ekonomi saat ini, tekanan cukup berat harus dihadapi oleh APBN karena pemerintah menghadapi dua situasi yang sama-sama sulit, yakni tax ratio yang rendah sehingga pendapatan negara dari pajak dan PNBP sulit dikumpulkan dalam jumlah besar, dan di lain pihak pos belanja dan pembiayaan cenderung membengkak guna mencegah keterpurukan ekonomi karena adanya kewajiban yang harus ditanggung pemerintah bila sesuatu hal terjadi.
Dalam situasi saat ini adalah untuk menangani pandemi covid-19, dan pemulihan ekonomi. Di lain pihak, masih ada kewajiban moral yang harus dipikul pemerintah yang mencerminkan hadirnya peran dan fungsi pemerintah untuk menyelamatkan kepentingan publik.
Ada lagi semacam kewajiban berupa state guarantie for borrowing of enter prices, dan statutory guarantie on liabilities and other obligation. Pendek kata, APBN benar-benar sedang mengalami tekanan tinggi saat ini ( high extent of stress) untuk penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Semua kewajiban tersebut adalah on cash yang harus dibayarkan pada satu periode anggaran.
Isu besarnya ada tiga area penting, yakni menyelamatkan nyawa manusia, melindungi mata pencaharian, dan menyelamatkan kegiatan ekonomi riil agar tetap mampu berproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa yang dihasilkan untuk menjaga stabilitas perekonomian.
KEEMPAT, semua pihak berharap agar APBN tetap dapat dikelola secara aman dan hati-hati karena sebagian anggaran yang dipakai bersumber dari utang dan pinjaman komersial untuk menutup defisit yang kian membengkak. Untuk tahun 2020 dan 2021 defisit anggaran telah mencapai angka 5% lebih dari PDB, ketika nilai PDB itu sendiri cenderung tidak banyak bertambah karena sebagian kegiatan ekonomi lumpuh.
Berpotensi
Di media online diberitakan bahwa untuk kuartal-I 2021,pemerintah merencanakan menarik utang baru senilai Rp 342 triliun. Hampir tidak ada bantuan hibah dan donor yang diterima Indonesia untuk pemulihan kesehatan dan ekonomi.
Sebab itu, Indonesia berpotensi menghadapi risiko sistemik dalam pengelolaan APBN . Dua kondisi yang bisa menjadi faktor pemicunya adalah defisit anggaran, dan defisit neraca transaksi berjalan.
KELIMA, simalakama APBN jelas terbaca dari apa yang telah penulis ulas di atas. Energinya terbatas, tapi ketika terjadi krisis ekonomi , APBN menjadi katub pengaman.
Di lain pihak, kita juga selalu mendapatkan diskursus bahwa disiplin anggaran harus ditegakkan. Disiplin anggaran adalah merupakan strategi untuk menjamin terwujudnya keberlangsungan fiskal dalam jangka panjang. Bila disiplin anggaran diabaikan, maka keberlangsungan fiskal akan terganggu.
Dalam situasi sekarang defisit anggaran sulit dihindari, akan tetapi para guru besar yang mendalami kebijakan fiskal memberikan fatwa akademis bahwa defisit harus dikendalikan secara efektif untuk mengendalikan risiko fiskal.
Karena itu, norma internasional yang dijunjung tinggi adalah bahwa utang tidak boleh lebih dari 60% terhadap PDB. Sedangkan defisit anggaran yang berada pada ambang batas aman adalah 3% terhadap PDB.
KEENAM, diskursus fiskal lainnya yang juga penting adalah bahwa APBN itu harus sehat. APBN yang sehat adalah APBN yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri karena utang membebani masa depan.
Ada lagi istilah APBN yang kredibel, yakni APBN yang bisa melanjutkan pembangunan, dan di sisi lain dapat mengatasi masalah yang dihadapi.APBN yang sehat juga bisa dilihat dari sisi belanja dan dari sisi fiscal space dan stimulus fiskal untuk pertumbuhan ekonomi. Dari sisi belanja, APBN dikatakan sehat bila realisasi belanja modal, barang dan sosial mencapai 90%.
Dari sisi fiscal space, APBN dikatakan sehat bila mempunyai basis fiskal yang kuat dan luas, tidak terbebani belanja yang bersifat wajib serta tersedianya ruang yang cukup terutama dalam memberikan fiskal stimulus bagi pertumbuhan ekonomi.
Dari berbagai diskursus-diskursus tersebut, maka mengelola kebijakan fiskal bersifat kompleks, dan simalakamanya pada akhirnya dapat disimpulkan karena pengelola menghadapi dilema dan trade off yang sangat kompleks dalam mengelola APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal.
KETUJUH, dilema dan trade off kebijakan fiskal yang dihadapi Indonesia menjadi secara sederhana dapat disimpulkan bahwa jumlah pengeluaran jauh lebih besar dari pendapatan, sehingga terjadi defisit besar dalam APBN. Defisit ditutup dengan utang. Ini fakta yang ada di depan mata.
Ketika ekonomi dilanda krisis, ekonomi bisa dipompa dengan meningkatkan stimulus yang dananya sebagian bersumber dari penerbitan SUN dan pinjaman.
Disini jebakan utang muncul dan kemudian mulai terjadi perdebatan dalam tataran akademis, politis dan pragmatis. Banyak kelangan berpendapat bahwa seharusnya yang dilakukan adalah bukan ekspansi fiskal, tapi kontraksi fiskal ( APBN ketat ).
Tapi kenyataannya pemerintah tetap lebih memilih kebijakan ekspansi fiskal. Dan pertimbangannya jelas disitu karena alasan yang bersifat politis lebih menonjol. Persoalannya adalah bahwa ruang yang tersedia memang itu yang menjadi pilihan politis.
Berarti risiko sistemik yang bisa muncul harus bisa diatasi karena ketergantungan eksternal untuk Indonesia sangat tinggi ketika menjalankan progam pemulihan ekonomi. Yang pasti kini Indonesia mengalami fiscal distress karena sebagian besar biaya pemulihan kesehatan dan ekonomi ditanggung Pemerintah.
Satu hal harus diakui bahwa fiscal distress harus dihindari dan salah satu pilihan yang dilakukan adalah melakukan kontraksi fiskal dan menjalankan kebijakan disiplin fiskal yang ketat untuk menekan beban utang. Belanja -belanja yang dibiayai utang belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk hal -hal yang bersifat produktif, sehingga economic outcome yang dihasilkan rendah.
Catatan para ahli ekonomi mengatakan bahwa utang luar negeri menjadi faktor kritis dalam pemulihan ekonomi Indonesia. Agar Indonesia bisa keluar dari titik krusial ini maka tidak ada ilmu lain yang harus direkomendasiksn, yakni membangun kemandirian fiskal.
Dari sisi pendapatan, tax ratio harus ditingkatkan, termasuk merapikan pengelolaan sumber daya alam dan aset sebagai kekayaan negara. Dari sisi belanja, harus dilakukan penguatan kualitas belanja melalui : 1) peningkatan kualitas belanja modal. 2) efisiensi belanja non prioritas ( belanja barang dan subsidi tepat sasaran). 3) sinergi antar progam yang relevan. 4) re-fokusing anggaran prioritas. 5) peningkatan kualitas desentralisasi fiskal.
Dari sisi pembiayaan, perlu ekosistem yang menjamin keberlanjutan dan efisiensi pembiayaan. Defisit dan ratio utang terhadap PDB maupun terhadap ekspor harus terkendali dan dengan keputusan politik harus diturunkan. (penulis adalah, pemerhati ekonomi dan industri tinggal di Jakarta).