Siapa Bilang Hukuman Angie Diperberat..?

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

Angelina Sondakh

HUKUMAN 12 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap Angelina Sondakh (AS) tentu saja tidak pada kesimpulan bahwa hukuman atas mantan anggota Komisi X DPR itu semakin diperberat. Tugas fungsi dan kewenangan majelis hakim kasasi hanya sebatas penerapan hukum yang tepat disertai hukuman yang sepadan dan tidak menyangkut materi perkara.

Dalam amar putusan, peranan AS dinyatakan “hanya” sebagai pelaku pasif yang disesuaikan dengan pasal 11 UU Tipikor dan sekaligus berdampak langsung pada penerapan ancaman hukuman pidananya. Setibanya di tingkat kasasi, penerapan pasal ini dikoreksi oleh majelis hakim agung dan didudukkan pada porsi yang benar bahwa AS adalah sebagai pelaku aktif.

Semakin mengerucut, pernyataan pun bermunculan di area percakapan terbuka. “Siapa bilang hukuman Angelina Sondakh diperberat..? Pertanyaan sarat nuansa pernyataan ini tentu saja dapat dipahami sebagai refleksi perlawanan atas sistematika kerangka berpikir yang sekedar terpikat pada selisih angka-angka hukuman badan yang diperbandingkan. Sehingga tak terbantahkan memang bahwa hukuman 12 tahun itu memberi kesan sangat kuat sebagai hukuman yang diperberat. Tentu saja bisa dipahami sebab, mantan Puteri Indonesia ini diganjar hukuman hanya empat tahun enam bulan penjara atas putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Begitu juga pada tahap banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, angka hukuman tersebut sama sekali tak berubah. Perubahan angka hukuman yang dilakukan majelis hakim agung menjadi 12 tahun itulah yang dinilai hukuman terhadap AS diperberat. Kenapa hukuman 12 tahun itu bisa terjadi?

Awalnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai adanya penerapan hukum yang tidak diselaraskan dengan sikap dan perilaku seberapa besar peranan terdakwa AS terkait proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional di Hambalang Bogor Jawa Barat dan Kementerian Pendidikan Nasional. Peranan AS oleh majelis hakim Tipikor disesuaikan dengan bunyi pasal 11 UU Tipikor bahwa terdakwa berperan hanya sebagai pelaku passif.

Atas dasar inilah AS dihukum empat tahun enam bulan penjara. JPU KPK tidak terima lalu mengajukan kasasi ke MA. Sikap perlawanan KPK itu pun diikuti AS. Kasasi KPK diterima sedangkan kasasi AS oleh MA ditolak mentah-mentah. Hasil putusan kasasi, penerapan hukum ditegakkan dengan selaraskan pasal 12 huruf a UU Tipikor atas peranan AS sebagai Pelaku Aktif yakni menerima uang korupsi dan membagikan uang untuk suatu kepentingan.

Hasil kajian Tubas, majelis hakim agung kasasi itu sudah tepat menerapkan pasal 12 huruf a UU Tipikor. Sebab dalam pasal itu dijelaskan siapa saja yang menerima korupsi secara aktif dalam arti menggerakkan uang itu untuk suatu kepentingan. Sedangkan pasal 11 UU Tipikor pelakunya bersifat pasif yang berarti menerima hadiah tapi tidak untuk menggerakkan kepentingan dengan uang itu. Jadi dia korupsi tapi tidak niat. Sedangkan peran AS aktif dapat uang untuk menggerakkan proyek Hambalang, jadi dia niat korupsi.

Analisis juridiksi, putusan MA menjadi 12 tahun penjara bukanlah memperberat hukuman bagi AS atas kejahatan korupsi di Kemenpora dan Kementerian Pendidikan Nasional.

Tapi tepatnya hanya penyelarasan hukum atas peran AS sebagai pelaku aktif. Selain hukuman badan 12 tahun penjara, mantan Wakil Sekjen Partai Demokrat ini juga dikenakan pidana tambahan harus membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 12,58 miliar dan US$ 2,35 juta atau sekitar Rp 27,4 miliar. Putusan MA itu adalah sebagai bentuk ketajaman rasa kepekaan dan mencerminkan keadilan.

Ditengah-tengah pusaran pemikiran hukum dan penegakan hukum yang bermazhab ultra konservatrik-positivistik dan tandus dari ruh keadilan dan kemanusiaan seperti masih rendahnya tuntutan dan vonis terhadap sejumlah terdakwa korupsi, maka vonis kasasi MA atas terdakwa AS telah mencerminkan ketajaman rasa kepekaan dan keadilan sosial.

Mudah-mudahan putusan MA ini menjadi yurisprudensi permanen dijadikan bahan acuan para hakim yang menangani perkara korupsi. Karena korupsi dapat dikategorikan sebagai kejahatan pembunuhan perlahan-lahan telah menyengsakan rakyat yang menjadi korban utama. Putusan MA yang diketuai Hakim Agung Artijo Askodar ini sangat tepat dan bisa mendorong orang yang terlibat kejahatan korupsi untuk koperatif dengan aparat penegak hukum dan menjadi stimulus agar mereka bersedia menjadi justice collaborator atau saksi pelaku yang mau bekerjasama dengan penegak hukum.

Pelaku yang kooperatif akan mendapatkan reward, diberikan keringanan hukuman. Pemberatan hukuman bagi pelaku yang tidak bersedia sebagai justice collaborator justru menjadi shock therapy agar orang terdorong menjadi justice collaborator. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS