Redenomasi Belum Penting

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

JUDUL opini ini adalah pernyataan Ketua Umum KADIN Indonesia yang terpampang dalam runing text TVOne, Rabu malam 30 Januari 2013. Karena hanya membaca di runing text, tentu pemirsa tidak tahu persis apa yang menjadi alasannya. Pernyataan tersebut diperkaya oleh pandangan Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Study Kebijakan Publik,UGM dalam tulisannya berjudul “Plus-Minus Redenominasi” yang dimuat dalam harian Kompas, Rabu,30 Januari 20213, halaman 6.

Di awal tulisannya, Tony menyatakan bahwa sebenarnya redenomasi rupiah, yaitu penyederhanaan satuan rupiah dengan menghilangkan tiga angka nol, bukanlah kebijakan yang berurgensi tinggi. Memang, rancangan kebijakan redenominasi ini masih debatibel, ada yang pro dan ada yang kontra.

Sebelumnya ada rancangan kebijakan pemerintah juga yang sempat akan diputuskan,yakni penyatuan zona waktu seluruh Indonesia, tapi nampaknya hal ini urung dideklarasikan oleh pemerintah, mungkin urgensinya juga tidak mendesak. Lantas apa yang mendesak dan perlu penyikapan kebijakan yang efektif agar problema ekonomi nasional dapat dipecahkan satu persatu.

Yang sangat mendesak di republik ini adalah masalah rendahnya daya saing. Apapun dalilnya kalau daya saing itu rendah, maka secara internal ekonomi domestik menjadi rentan dari tekanan yang datang dari berbagai penjuru. Di pasar domestik, impor menekan. Di pasar internasional harga produk kita tidak kompetitif.

Jadi tugas utama yang harus diseriusi adalah menciptakan surplus ekonomi, yakni surplus neraca pembayaran, surplus neraca transaksi berjalan dan surplus neraca perdagangan. Yang mendesak lagi adalah pembenahan regulasi nasional secara berjenjang pada frasa undang-undang maupun peraturan pelaksanaannya.

Dewasa ini regulasi banyak dihasilkan, namun kontennya saling” menyandera”. Melegimitasi kekuasaan/kewenangan politik birokrasi pemerintahan di kementrian/lembaga. Akibatnya, kebijakan yang diambil pemerintah menjadi sangat fragmentatif yang dampaknya makin menjauhkan dari upaya memperbaiki daya saing ekonomi nasional.

Sekarang ini yang bersaing itu bukan hanya perusahaan saja, tetapi juga negara dan bahkan individu-individu dalam sistem ekonomi global. Berikutnya adalah soal pelayanan birokrasi yang rata-rata masih buruk. Sogok, suap, pungli masih terjadi. Buktinya dunia usaha dan masyarakat masih mengeluhkannya.

Bagaimana dengan KKN, orang budge-pun tahu bahwa negeri ini banjir korupsi, bukan hanya banjir bandang saja. Masalah agraria juga masih sangat kuat menjadi sumber konflik dan hal ini terjadi merata di seluruh wilayah tanah air. Tanah ulayat-pun dicoba diacak-acak untuk dimanfaatkan oleh segelintir manusia yang berkarakter sebagai animal economy atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Itulah sederet daftar menu pilihan masalah yang urgent dan penting untuk diselesaikan. Dan semua kita tahu semua bahwa problem yang dihadapi bangsa ini di bidang ekonomi yang berskala penting dan urgent untuk dibenahi adalah hal yang disinggung di depan tadi. Jangan dulu nambah bingung masyarakat dan opini ini juga ikut mengamini bahwa kebijakan redenominasi rupiah saat ini bukan sesuatu yang prioritas dan lebih baik diendapkan dulu.

Reformasi kebijakan ekonomi nasional jauh lebih penting untuk dilaksanakan yang tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjangnya adalah membangun daya saing bangsa. Kalau daya saing bangsa ini makin membaik, maka jalan menuju ke arah tercapainya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran lebih terbuka untuk diraih.

Surplus ekonomi akan terjadi di sepanjang waktu, Cadangan devisa bisa makin bertambah besar. Oleh sebab itu pada opini yang sebelumnya telah disampaikan bahwa barangkali target pembangunan ekonomi Indonesia ke depan bukan lagi mengejar peningkatan pertumbuhan ekonomi, tapi adalah peningkatan cadangan devisa negara/tabungan negara dalam bentuk valas.

Dengan modalitas memiliki tabungan negara dalam bentuk valas dalam jumlah yang besar, kesempatan membangun ekonomi bangsa lebih dapat dijamin. Karena dengan APBN yang sudah mendekati Rp 1.500 triliun saja, bangsa ini tetap saja tidak berkecukupan bisa membangun.

Menambah jumlah hutang juga beresiko, selain makin mahal juga akan menjadi beban APBN. Jadi satu-satunya yang harus diupayakan bersama oleh seluruh komponen bangsa di negeri ini mengubah paradigma ekonomi yang berbasis pertumbuhan pada paradigma yang berbasis pada penciptaan nilai surplus ekonomi dan ini hanya bisa diraih kalau sistem ekonomi nasional berjalan efisien dan produktifitasnya tinggi. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS