Perubahan Tata Laksana Adat Tak Kurangi Makna

Loading

Oleh: Apul D Maharadja
Tulisan pertama dari dua tulisan

Ilustrasi

Ilustrasi

JAKARTA, (Tubas) – Perubahan tata laksana adat Batak dimungkinkan sepanjang perubahan itu tidak mengurangi makna adat itu. Dan, selama ini sudah berlangsung pula perubahan. Tapi, itu tidak berarti terdapat bermacam-macam adat. Selalu ada satu patokan yang dapat diberlakukan oleh masing-masing kelompok adat.

Hal itu terungkap dalam seminar “Adat Batak dan Kekristenan” yang diselenggarakan oleh Panitia Jubileum 150 Tahun HKBP di HKBP Resort Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (5/7). Dalam seminar itu tampil tiga pembicara, yakni Ir Jan Pieter Sitanggang, pengamat adat, St Ardian Situmorang, dan Tumindang M Butarbutar, praktisi adat, dengan moderator Enderson Tambunan. Seminar itu dibuka oleh Pdt Tumpak Siahaan, STh., dihadiri 148 orang, yang secara antusias mengikuti pemaparan dari masing-masing pembicara.

Topik lain yang direspon oleh banyak peserta seminar menyangkut biaya penyelenggaraan pesta, yang biasanya besar. Para pembicara pun mengingatkan bahwa pesta adat, terutama adat untuk perkawinan dapat diselenggarakan secara sederhana, dengan biaya sedikit, dan juga adat penuh. Pesta adat tidak harus besar dengan biaya besar. “Adat do na metmet,” kata seorang pembicara.

Seminar tentang adat Batak ini mengawali acara seminar di HKBP Pondok Gede dalam rangka jubileum 150 tahun itu. Dua lagi seminar, dengan tema kebangsaan dan generasi muda, akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Selain itu, diselenggarakan pula sekitar 150 kegiatan, antara lain perlombaan, pameran, dan konser musik.

Perbedaan

Pembicara JP Sitanggang, pengarang buku Raja Na Pogos, yang membahas seputar adat Batak, secara tegas mengatakan, kita harus berani menyederhanakan tata laksana adat. Bahkan, harus pula berani meniadakan bagian adat yang tidak sesuai lagi dengan ajaran agama dan sosial kemasyarakatan.

Sitanggang berpendapat, sebenarnya banyak yang menyimpang dalam pelaksanaan adat Batak, terutama di daerah perantauan, belakangan ini. “Di tanah leluhur (bona pasogit) sendiri juga sudah terjadi perubahan. Apalagi di daerah rantau yang menyebabkan ada yang menyimpang,” katanya.

Ia memberikan contoh, dalam adat perkawinan dikenal tingkir tangga dan paulak une yang masih dipegang sampai sekarang hanya karena supaya terlaksana tahapan adat sesuai dengan yang diwariskan nenek moyang. Padahal, sudah bertentangan, karena dulu orang melakukan tingkir tangga untuk mengetahui apakah calon mempelai keturunan budak atau raja. Kalau ternyata keturunan budak, maka perkawinan harus dibatalkan, katanya.

“Banyak bagian dari acara atau tata laksana adat yang seharusnya tidak ada, tapi diada-adakan karena kepentingan tertentu. Dalam acara perkawinan Batak, seharusnya keluarga kedua belah pihak cukup bertemu dua kali. Tapi kalangan orang rantau, menambah-nambah sehingga acara adat semakin lama, dan membutuhkan makin banyak biaya,” katanya. Ia pun berpendapat, harus berani mengefisienkan pelaksanaan adat agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Pada awal paparannya, JP Sitanggang berpendapat, ada tiga “bentuk” adat yang dilaksanakan. Pertama, adat inti, yakni asas atau inti adat pada zaman nenek moyang yang dipakai sampai saat ini. Kedua, adat nataradat, yakni kelaziman berupa adat yang dubah dan disesuaikan menurut daerah tertentu. Ketiga, adat na diaadathon, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam zaman modern yang tak “terlawan”.

Pada akhir pandangannya, ia mengatakan, sudah saatnya kita meninggalkan bagian adat yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. ***

CATEGORIES
TAGS