Perilaku Koruptor Ujian bagi Peradaban Suatu Bangsa

Loading

ruhut
JAKARTA, (tubasmedia.com) – Kelahiran reformasi salah satunya karena pemerintahan Orde Baru dinilai korup. Namun diluar nalar, yang terjadi di era reformasi, kejahatan korupsi justru meluas dan kian ganas, bahkan sudah masuk kategori biadab. Sudah saatnya perilaku koruptor kita kikis habis sebagai batu ujian bagi peradaban suatu bangsa..

“Korupsi di Indonesia dewasa ini bukan lagi hanya sebatas kejahatan, tetapi sudah biadab. Para gubernur, bupati/ wali kota dijebak mengikuti atau memenuhi tuntutan tersebut,” ujar Ruhut Sitompul saat dimintai pendapatnya dalam suatu percakapan lepas bersama tubasmedia.com baru-baru ini di Jakarta.

Menurut anggotra Komisi III DPR-RI ini, kejahatan korupsi saat Orde Baru terjadi pada proyek, seperti penggelembungan harga satuan, pengaturan kontraktor sebagai pemenang dan fee bagi pejabat. Di era reformasi korupsi semakin ganas karena terjadi sejak penyusunan anggaran baik di pusat mau pun daerah.

Sorotan mantan Pengacara ini juga mengarah adanya mafia anggaran dengan setoran tujuh persen terjadi di berbagai level pemerintahan. “Berbagai pihak tahu, tetapi tidak tahu bagaimana mengatasi karena rata-rata sudah amoral,” tandasnya.

Si Poltak “Raja Minyak” ini juga memprihatinkan bahwa dunia pendidikan saat ini telah mengalami disorientasi, karena lebih mencerdaskan otak dari pada membangun watak. Padahal karakter bangsa seperti bersikap egaliter serta menekankan kebersamaan terbagun melalui pendidikan yang memuliakan watak sekaligus mencerdaskan otak.

Ruhut melihat, pendidikan dewasa ini lebih menekankan ijazah sebagai patokan mencari kerja dan jabatan. Padahal yang dibutuhkan adalah mencetak kaum intetlektual yang tidak hanya cerdas tetapi juga berwatak baik.

Perasaan jengkel bercampur marah seorang Ruhut, sudah tak tebendung lagi melihat kenyataan tingkah laku para koruptor yang tak berkesudahan itu. “Koruptor itu saya nilai sama dengan binatang,” tudingnya dengan suara lantang. Saran Ruhut agar para koruptor itu kapok, lebih baik dimiskinkan saja dengan cara seluruh aset hasil rampokannya itu dirampas untuk negara.

“Hanya pemiskinan yang sangat ditakutkan para koruptor. Sebab hukuman penjara seberat apapun masih diberi remisi dan bahkan rehabilitasi hukuman menjadi pidana bersyarat menjadi harapan ceria bagi para biadab itu,” ujar politisi Partai Demokrat, sekeras itu dilontarkan sebagai ungkapan perasaan jengkel puncak amarah hingga ke ubun-ubun.

Sebab, selain karena sudah putus urat malunya, hukuman bagi para koruptor itu juga dinilai sangat tidak aspiratif dengan fakta penderitaan rakyat. Bahkan ketakutan rakyat jatuh sakit bukan karena penyakit yang diderita tapi lebih takut karena ketiadaan biaya. “Jadi di negara kita ini orang miskin dilarang sakit,” tambahnya mengibaratkan.

Pada masa kepemimpinan Bung Karno kejahatan korupsi itu, nyaris tak terdengar, selain raibnya dana pampasan perang yang dikucurkan pemerintahan masa penjajahan Jepang. Beranjak ke masa kepemimpinan Soeharto, perilaku para koruptor mulai menggeliat. Sikap otoriter kepemimpinan Orde Baru mulai menggeser nilai kepalan tinju kebangsaan, ke arah genggam nilai materi.

Perilaku transaksional pun menjadi acuan kepemimpinan di segala lini birokrasi pemerintahan berkolusi dengan monopolis sektor swasta yang dilekatkan pada strategi Repelita berkelanjutan. Keuntungan perorangan mau pun kroni dijadikan sebagai proposal terselubung.

Demi kemunafikan, transaksi kejahatan itu pun bergerak secara person to person tunai di bawah meja atau pun di atas meja. Moralitas para elite ke lingkaran suap menyuap pun dipertontonkan dengan peraga harta kekayaan berlimpah tanpa rasa rikuh sebagaimana diperagakan kaum legislatif saat ini bersama mobil mewahnya.

Berapa kerugian negara sebanyak itu pula keuntungan para koruptor yang harus dipikul rakyat hidup bergelimang derita. Presiden Jokowi bertekad bulat penegakan hukum sebagai panglima, sikat habis para koruptor tanpa pandang bulu.

Namun, kasus korupsi triliunan rupiah di Bank Century, Bank Indonesia, korupsi 17 Gubernur dari 34 Provinsi, korupsi melibatkan 150 Bupati, Wali Kota, Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara, Pengusaha, Kepala Desa serta instansi kementerian tak ketinggalan kaum legislatif faktanya masih menjadi hutang sejarah kelak bias saja ditinggalkan sebagai beban bagi generasi bangsa berikutnya. (marto)

CATEGORIES
TAGS