Penjahat “Berdasi” Dirantai Atau Diborgol…?

Loading

Oleh: MartoTobing

ilustrasi

ilustrasi

MASIH ingat jaman perbudakan tempo doeloe…? Manusia bisa dipatok seharga penjualan untuk dijadikan HAMBA sesuka hati keperluan kaum BORJUIS. Namun, bila menyangkut kepentingan penguasa pemerintahan feodal, otomatis tidak diberlakukan transaksi jual-beli bagi yang diperbudak.

Kaum yang dimarjinalkan itu bila melakukan kejahatan sekecil apa pun akan digiring kerja paksa ke area pembangunan suatu proyek demi eksistensi birokrat pemerintahan, kala itu berkarakter monarchi. Bila perlu dicambuk atau dengan kata lain dihukum rajam. Tentu saja gerak langkahnya tidak dalam keadaan bebas. Saat digiring kedua kaki budak itu dalam keadaan dirantai secara berkesinambungan dengan sesama.

Bersyukur, seiring perputaran waktu ratusan tahun, sistem perbudakan itu akhirnya dipunahkan oleh nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki yakni: “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.

Wujudnya melekat pada aspek keseimbangan perilaku sosial dan norma-norma hukum yang berlaku serta mengikat dengan segala konsekuensinya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kini rakyat mulai “menggugat” bagaimana kemungkinannya agar para penjahat “berdasi” itu kedua kakinya dirantai atau tangan diborgol..?

Sebab mulai terusik, masihkah ada nilai-nilai “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dalam diri para pelaku kejahatan korupsi itu? Kalau masih ada tentu saja tidak akan tega melakukan kejahatan yang luar biasa itu.

Maka dengan demikian apakah kedua kaki tersangka perampas hak kesejahteraan rakyat itu sebaiknya dirantai saja selama dalam penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saatnya disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tentu saja tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan nilai-nilai keberadaban itu sendiri.

Toleransinya bahwa Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyambut baik usulan berbagai pihak agar setiap tersangka korupsi diborgol saja (tidak dirantai) sebagaimana yang menjadi prosedur dalam tindak pidana umum. Usulan itu sebaiknya dipertimbangkan dan diformulasikan saja dalam undang-undang Tipikor.

“Bagusnya malah komprehensif dengan revisi UU Tipikor yang seharusnya diprioritaskan. Di situ dimasukkan sanksi tambahaaan sekaligus borgol itu tadi,” kata Busyro menanggapi tubasmedia.com Jum’at (15/11).

Untuk tindak pidana umum seperti pencurian dan perampokan sangat lazim bila penegak hukum melakukan pemborgolan terhadap tersangka lalu muncullah usulan agar prosedur serupa dilakukan juga untuk tersangka korupsi. Jangan dibedakan perlakuan terhadap koruptor dengan pelaku kriminal umum.

Kalau pencuri saat sidang dikawal dengan senjata dan digirng dengan tangan dirantai menuju ruangan sel tahanan di pengadilan. Seharusnya para koruptor harus diperlakukan seperti itu. Dalam pengamatan tubasmedia.com, tidak ada aturan yang melarang penegak hukum untuk merantai tangan para tersangka korupsi hingga sesaat disidangkan Pengadilan Tipikor. Pemborgolan dilakukan dengan pertimbangan keamanan agar si pelaku tidak lari ada benarnya, tapi juga tidak boleh diabaikan hukuman borgol itu termasuk pemberian sanksi sebagai faktor phsikologis yang berdampak sosial berupa efek jera.

Penyidik KPK sudah beberapa kali melakukan pemborgolan terhadap tersangka dari operasi tangkap tangan. Namun prosedur tersebut tidak rutin dilakukan. Seyogyanya KPK tak hanya mengenakan baju tahanan berwarna orange itu bagi para tersangka korupsi. Namun mentalnya akan jatuh jika dikenakan “hukuman” borgol.

Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sendiri menilai pemborgolan terhadap tersangka atau terdakwa korupsi bukan suatu pelanggaran HAM. ”Korupsi itu kan kriminal jadi yang tindak kriminal itu kenapa diborgol untuk membatasi ruang gerak. Kalau yang melanggar HAM itu kalau hukuman mati,” jelas Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila saat dimintai tanggapannya, Sabtu (16/11).

Siti menjelaskan pelanggaran HAM terjadi jika melakukan penganiayaan, kekerasan baik fisik mau pun non fisik atau pun hukuman mati. Diborgol atau tidak itu kontekstual sebab memborgol tentu saja ada tujuannya. Pemborgolan bukan merupakan fenomena baru dalam kasus tindak pidana. Pemborgolan merupakan hal biasa yang tentu aparat memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk melakukannya.

“Selama ini tersangka korupsi keluar senyum-senyum melambaikan tangannya. Seperti tidak ada efek jera. Menerapkan kewajiban untuk memakai baju tahanan kepada para tersangka korupsi, ternyata belum cukup untuk memberi hukuman sosial bagi tersangka ini.

Malah yang terjadi mereka senyum-senyum bukannya malu. Mungkin penyebab utamanya adalah nilai-nilai “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” tidak lagi melekat pada diri para “Penjahat Berdasi” itu. ***

CATEGORIES
TAGS