Pengusaha Plastik Minta Pemerintah Cabut Proteksi BBP
JAKARTA, (tubsmedia.com) – Forum Lintas Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (FLAIPHI) menilai pemerintah tidak perlu lagi memberikan proteksi kepada Bahan Baku Plastik (BBP) dalam negeri. Pasalnya proteksi itu dinilai hanya akan berdampak pada mahalnya bahan baku plastik di dalam negeri.
Juru Bicara FLAIPHI, Henry Chevalier mengatakan industri hilir harus mampu memproduksi dengan harga lebih murah untuk bersaing dengan produk jadi plastik impor. Jika tidak, impor produksi jadi baik secara legal maupun ilegal dinilai tetap akan membanjiri pasar dalam negeri.
“Kunci untuk bisa memproduksi produk jadi yang bedaya saing tinggi adalah bahan baku plastik di dalam negeri harus lebih murah dibandingkan dengan harga BBP di negara pesaing,” kata Henry dalam keterangan tertulis di Jakarta..
Industri hulu sampai saat ini masih mendapatkan perlindungan dari pemerintah sejak 2009 yaitu berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 19 Tahun 2009. Di dalamnya mengatur Bea Masuk terhadap Bahan Baku Plastik yang diimpor dari negara non-FTA dengan tarif bea masuk antara 10-15%.
Menurut Henry, terbitnya Permendag Nomor 36/2023 khusus untuk 12 HS Code ini, yang sudah direvisi sebanyak 3 kali yaitu menjadi Permendag Nomor 3 Tahun 2024, Permendag Nomor 7 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 sudah cukup baik. Karena tujuan utamanya adalah memberi perlindungan kepada industri barang jadi plastik dalam negeri.
“Sesuai dengan semangat pemerintah yaitu Hilirisasi. Jika pemerintah ingin melakukan hilirisasi, syarat utamanya adalah ketersediaan bahan baku yang akan diolah/diproses oleh Industri hilir dengan harga yang murah atau setidaknya sama dengan harga dari negara pesaing,” katanya.
“Dengan perlindungan terhadap produk jadi, khususnya dalam hal ini adalah produk jadi plastik, maka secara otomatis akan meningkatkan utilisasi industri hilir plastik. Kalau utilisasi industri plastik hilir meningkat, maka akan meningkatkan kebutuhan bahan baku plastik yang seharusnya menjadi berita baik untuk industri hulu,” tambahnya.
Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia (GIATPI) yang menjadi salah satu anggota menilai, saat ini tinggal industri hulunya apakah mampu memanfaatkan sinyal positif ini dengan memberikan harga yang bersaing dengan harga BBP impor atau tidak.
“Kalau ternyata harga yang ditawarkan lebih mahal dibanding dengan harga BBP impor, jangan disalahkan kalau industri hilir plastik akan menggunakan BBP impor,” jelas Totok Wibowo dari GIATPI.
Agar industri hilir bisa bersaing dengan produk jadi impor, menurutnya diperlukan industri hulu yang kuat secara modal, teknologi dan penghematan biaya. Jika sebaliknya, dinilai akan terjadi deindustrialisasi dan menimbulkan pengangguran masal.
Jika pemerintah akan memberikan insentif agar hulu juga berkembang, disarankan mereka agar berupa insentif yang non tarif. Contohnya pengurangan pajak untuk periode tertentu, tetapi juga harus diimbangi dengan pembaruan teknologinya.
Untuk meningkatan daya saing produk jadi, saran GIATPI yang harus diperbaiki lebih lanjut dari peraturan pengaturan impor saat ini adalah khusus untuk produk jadi plastik yang terdiri dari sekitar 140 HS Code yakni ditingkatkan dari sekadar LS dan Post Border menjadi LS, PI dan Border.(sabar)