Partai Politik Tidak Boleh Kedepankan Watak Transaksional dalam Menggunakan Hak Angket
Oleh: Petrus Selestinus
PANDANGAN Partai Nasdem yang menginginkan adanya perjanjian tertulis bahkan secara Notariil dengan PDIP untuk penggunaan Hak Angket DPR RI, merupakan pandangan yang merendahkan derajat kekuatan mengikat dari UUD 45, UU MD3 dan Tatib DPR ketika negara dan rakyat memerlukan.
Mengapa merendahkan sekaligus melecehkan ? Karena hak angket itu tidak melekat pada partai politik, tetapi pada UUD 1945, UU MD3, pada Tatib DPR dan pada anggota DPR itu sendiri, terlebih-lebih demi kepentingan rakyat, yang terdampak buruk akibat kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan UU dan merugikan rakyat.
Oleh karena itu ketika hak angket DPR itu hendak digunakan tetapi disertai dengan embel-embel perjanjian antar partai politik, maka hak angket itu akan menjadi “obyek perjanjian” yang sifatnya “transaksional” dan berpotensi dibelokkan pada tujuan lain di luar kepentingan rakyat.
Harus digarisbawahi bahwa hak angket anggota DPR itu diberikan oleh Pembentuk UU bukan tanpa syarat, melainkan karena terdapat kewajiban DPR yang terkorelasi dengan fungsi DPR sebagai “representasi rakyat”, yaitu untuk melindungi rakyat ketika terdapat kebijakan pemerintah sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan, terjadi penyimpangan dan berdampak luas dan merugikan kehidupan rakyat banyak.
Daulat Rakyat Bergeser
Penggunaan Hak Angket dalam persoalan Pemilu sangat tepat, karena menyangkut hal strategis dan penting terkait dengan konstitusionalitas hak rakyat yang berdaulat untuk memilih DPR, DPD, DPRD dan Presiden RI secara luber dan jurdil. Tetapi dalam proses pelaksanaannya, diduga diselewengkan demi dinasti politik dan nepotisme.
Secara hukum positif, dinasti politik dan nepotisme merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana penjara oleh TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan oleh UU No. 28 Tahun 1999, Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Karena itu, di dalam UU Pemilu jelas dikatakan bahwa Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden secara luber dan jurdil dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemilu yang luber dan jurdil menjadi asas pemilu di dalam UUD 1945.
Ketika Pemilu dilaksanakan tidak jurdil, karena dinasti politik dan nepotisme memainkan peran destruktif, maka kedaulatan rakyat yang diwujudkan lewat pemilu yang seharusnya jurdil telah dikhianati, dirusak dan digeser menjadi kedaulatan dinasti politik dan nepotisme lewat MK atas nama perselisihan hasil pemilu.
Mengapa ? Karena di MK sudah ada ipar Jokowi dan paman Gibran yang siap mendegradasi kedaulatan rakyat lewat hasil “Pemilu” dengan sengketa perselisihan hasil pemilu untuk menentukan siapa pemenangnya.
Akhirnya Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat bergeser ke “MK” sebagai sarana kedaulatan rakyat dalam menentukan siapa Wakil Rakyat dan siapa Presiden RI ditentukan oleh dinasti politik dan nepotisme yang ada di supra struktur politik lintas lembaga tinggi negara menjadi ancaman serius terhadap Demokrasi dan Daulat Rakyat di negeri ini.
Sikap PDIP Diapresiasi
Kita patut mengapresiasi sikap PDIP menolak pandangan Partai Nasdem agar Hak Angket DPR perlu dibuat perjanjian tertulis dengan PDIP. Penolakan PDIP sangat argumentatif karena Hak Angket adalah hak Anggota DPR sementara partai politik cukup sebagai fasilitator lewat fraksi-fraksinya di DPR, lalu men-declare saja dukungan partainya lewat media kepada publik.
Jika harus dibuat lagi perjanjian, maka ini jelas melecehkan Hak Anggota DPR dan Hak Rakyat sebagaimana sudah diatur di dalam UU MD3 dan Tatib DPR yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 7B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yaitu hak menyatakan pendapat, manakala Presiden terbukti melanggar hukum lewat penggunaan Hak Angket Anggota DPR.
Pada sisi yang lain, nampak bahwa Partai Nasdem belum bisa melepaskan diri dari watak “transaksional” dalam kebijakan dan tata kelola negara yang bersandar pada konstitusi dan UU. Apalagi partai politik memiliki kekuasaan dan kekuatan pengendali lewat fraksi-fraksi di DPR, sehingga setiap partai gunakan garis komando sesuai fraksinya di DPR.
Dengan demikian pandangan Partai Nasdem tentang perlunya perjanjian tertulis terlebih dahulu dengan PDIP dalam penggunaan hak angket, jelas kontraproduktif, pragmatis bahkan memalukan karena memperlihatkan, untuk kepentingan bangsa dan negara-pun, watak transaksional dan pragmatis Partai Nasdem dipertontonkan tanpa malu-malu.(Penulis adalah Koordinator TPDI & Advokat Perekat Nusantara).