“Ngeteh”di Pinggir Sungai

Loading

Oleh: Enderson Tambunan

Enderson Tambunan

Enderson Tambunan

SAYA membayangkan nikmatnya minum teh atau kopi dan makan pisang goreng sambil kerja bakti membersihkan sungai pada saat membaca imbauan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo agar warga kota bekerja bakti di lingkungannya seminggu sekali. “Ngeteh” bersama warga sekampung atau sedomisili dapat mempererat kekeluargaan di tengah kesibukan mencari nafkah setiap hari.

Banjir besar di Ibukota bulan lalu melahirkan keprihatinan. Selain merenggut korban jiwa dan menghanyutkan harta benda, bencana itu memperkuat kebersamaan dan solidaritas. Itu terbukti dari mengalirnya bantuan tenaga evakuasi dan logistik dari masyarakat, organisasi, dan instansi pemrintah. Ramai-ramai membantu korban banjir dan ramai-ramai pula membersihkan sampah pascabanjir.

Kenyataan, beberapa sungai di Jakarta belum bebas dari sampah. Itu yang kita saksikan tatkala terjadi bencana banjir, bulan lalu. Jokowi sendiri mengakui, meskipun sudah ada usaha pembersihan secara manual, namun Jakarta belum punya sistem yang bisa mencgah pembuangan sampah ke sungai. Jokowi yakin, dengan kerja bakti, kebersihan lingkungan akan terjaga dan risiko banjir dapat dikurangi.

Kerja bakti adalah frasa yang sejak dulu “hidup” dalam masyarakat kita. Ia tidak mengenal batasan geografis. Di perdesaan dan perkotaan, di permukiman dan perkantoran, sering berlangsung kerja bakti, terutama membersihkan lingkungan dari sampah dan air kotor.

Dengan kerja bakti, ramai-ramai memecahkan masalah tanpa bayaran, paling minum teh atau kopi dan makan pisang goreng atau ubi rebus, yang juga disediakan warga secara gratis. Itulah inti kerja bakti. Bahkan, pada era teknologi informasi yang begitu maju, pada masa kini, kerja bakti masih jadi andalan untuk membersihkan lingkungan.

Jokowi menyadari betul manfaat kerja bakti, hingga dia mengeluarkan imbauan demikian ketika menyaksikan kerja bakti di Lagoa, Jakarta Utara, Minggu (3/2/2013). Ia pun yakin akan semakin banyak orang yang ikut kerja bakti.

Sesungguhnya, kerja bakti tidak hanya bekerja bareng menyelesaikan satu masalah, semisal, memindahkan tumpukan sampah. Kerja bakti juga berperan sebagai wadah mempererat tali persaudaraan sesama warga atau sesama komunitas. Saat bekerja bareng adalah saat berkumpul dan berbincang-bincang. Bahkan, tak jarang hasil bincang-bincang saat kerja bakti melahirkan program spektakuler di wilayah komunitas itu. Misalnya, tercetus program memperbaiki jalan dan membangun aula serba-guna. Tidak heran bila banyak warga yang merindukan kerja bakti. Acara yang demikian menjadi momen indah.

Sekali Sebulan

Dalam konteks imbauan Jokowi itu, yang ingin disarankan menyangkut waktu. Rasanya tidak perlu kerja bakti sekali seminggu. Cukuplah sekali sebulan atau bergantung pada mendesak-tidaknya satu masalah harus diselesaikan secara ramai-ramai dan tanpa biaya.

Kalau masalahnya mendesak harus cepat ditangani, jangankan sekali seminggu, setiap hari dalam seminggu, ok saja. Kalau pun sekali sebulan masih dianggap terlalu sering, cukuplah dua bulan sekali. Sebab warga juga punya kesibukan lain, entah itu berdagang atau menghadiri acara keluarga. Kalau terlalu sering tidak ikut kerja bakti, jika diprogramkan sekali seminggu, rasanya kurang elok pula. Seseorang warga yang sering tak ikut kerja bakti bakal jadi “bahan omongan”. Begitu biasanya. Yang harus dicegah, jangan sampai tidak pernah kerja bakti.

Lingkungan, terutama sungai, bisa tetap bersih jika dikelola oleh pemerintah secara permanen. Dalam hal ini, jika masalahnya terletak pada kurangnya petugas kebersihan, maka saatnya pemerintah daerah menyiapkan tambahan anggaran untuk merekrut tenaga baru. Andalan utama hendaknya tetap pada petugas kebersihan, yang dari sudut jumlahnya, haruslah memadai.

Mungkin, sudah saatnya masalah per-sungai-an di Jakarta dikelola oleh satuan perangkat kerja darah (SPKD) khusus, sebutlah Dinas Urusan Sungai. Tugasnya hanya merawat sungai agar bebas sampah dan mengelolanya menjadi sumber mata pncaharian bagi warga dan pemasukan retribusi bagi pemda. Jika sudah menjadi sumber mata pencaharian, sungai itu pasti dirawat.

Tidak kurang dari 13 sungai yang mengalir di wilayah Jakarta. Sebagian di antaranya mengalirkan banjir kiriman dari daerah hulu. Tak normalnya aliran sungai-sungai itu, baik karena pendangkalan maupun penyempitan, membawa bencana banjir bagi penduduk Jakarta.

Membenahi daerah aliran sungai berarti pula berupaya menanggulangi banjir. Maka, normalisasi sungai, seperti yang dijadwalkan terhadap Sungai Ciliwung, bakal banyak artinya dalam upaya mengurangi dampak banjir. Biaya normalisasi tersebut juga tidak ringan, bahkan tergolong amat besar.

Normalisasi sungai, dengan biaya besar, harus diikuti dengan perawatan dan pengawasan. Itu banyak artinya dalam konteks menjaga kelestarian sungai. Barangkali inilah salah satu tugas dinas urusan sungai. Tanpa perawatan, daerah aliran sungai akan cepat kembali ke bentuk semula. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS